Selasa 11 Dec 2018 14:37 WIB

Meski IHSG Turun, Frekuensi Transaksi di Pasar Modal Tumbuh

Frekuensi transaksi pasar modal mencapai 73 juta transaksi senilai Rp 1.500 triliun.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolanda
Pegawai melintas di dekat layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (29/11). IHSG ditutup di zona hijau menguat 1,93 persen atau naik 115,92 poin ke level 6.107,17.
Foto: Prayogi/Republika
Pegawai melintas di dekat layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (29/11). IHSG ditutup di zona hijau menguat 1,93 persen atau naik 115,92 poin ke level 6.107,17.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kondisi global masih berada dalam ketidakpastian. Hal ini menjadi salah satu penyebab terkoreksinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun meskipun terkoreksi, frekuensi transaksi di pasar modal terus mengalami peningkatan.

Deputi Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi mengatakan, IHSG sudah turun sebanyak 3,5 persen sejak Januari 2018. Meski begitu, Fakhri mengatakan, frekuensi perdagangan di pasar modal justru meningkat. 

"Tahun lalu frekuensi transaksinya sebesar 38 juta. Kalau sekarang, hingga Oktober sudah naik 92 persen menjadi 73 juta frekuensi transaksinya dengan nilai hampir Rp 1.500 triliun," ujarnya di Jakarta pada Selasa (11/12). 

Jumlah emiten yang melantai di bursa tahun ini pun, kata dia, mencapai 54 emiten. Dalam pipeline masih ada 15 calon emiten sampai akhir tahun. 

"Tentunya emiten kita akan terus bertambah," kata Fakhri. 

Jumlah investor pasar modal, tambahnya, dalam enam tahun turut meningkat pesat hingga 200 persen. OJK mencatat, pemegang Single Investor Identification (SID) saham sebanyak 850 ribu. Kemudian pemegang SID reksa dana sebanyak 933 ribu, lalu SID Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 185 ribu. 

"Kami berharap, kinerja pasar modal bisa ditingkatkan. Hal ini untuk menyikapi tantangan ekonomi Indonesia dan mencermati dampak pasar modal Indonesia terutama surat utang pada 2019," tegas Fakhri. 

Fakhri mengakui, ekonomi global memang masih berfluktuasi. Pertumbuhannya pun belum merata. Dana Moneter Internasional (IMF) pun memprediksi pertumbuhan ekonomi global pada 2018 sebesar 3,7 persen atau turun dari prediksi sebelumnya yang sebesar 3,9 persen. 

"Risiko jangka pendek juga muncul karena ada tekanan perdagangan dari Amerika Serikat. Selain ketidakseimbangan global, negara berkembang juga terkena volatilitas sebagai ketidakpastian kondisi cukup tinggi," kata Fakhri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement