REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah perlu memperbaiki hambatan utama dalam kemudahan investasi di Indonesia. Hal itu seperti permasalahan administrasi dan birokrasi dalam berusaha.
"Pemerintah perlu melihat akar masalah yang struktural," kata Bhima ketika dihubungi pada Selasa (20/11).
Bhima menyebut, dalam laporan kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) Bank Dunia perizinan memulai usaha Indonesia masih menempati peringkat ke-134 di dunia. Kemudian, administrasi pembayaran pajak masih berada di peringkat ke-112.
Selain itu, birokrasi daerah yang lambat dan persoalan korupsi juga menjadi hambatan utama realisasi investasi di Indonesia. "Itu yang harus diselesaikan dulu baru investor akan masuk," kata Bhima.
Dia mengatakan, pemerintah sudah melakukan kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dalam paket kebijakan ke-10 pada 2016. Menurutnya, kebijakan itu tidak berdampak signifikan untuk menarik investasi asing.
Seperti diketahui, pada kuartal III 2018 investasi asing langsung justru anjlok atau minus 20,2 persen dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya.
"Saya kira paket kebijakan ekonomi ke-16 ini sekedar memberikan sinyal ke pasar. Ini memberikan sinyal bahwa pemerintah membuat kebijakan pro investasi yang baru," kata Bhima.