Kamis 15 Nov 2018 17:21 WIB

Turunkan CAD, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6 Persen

Kenaikan suku bunga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 14 sampai 15 November 2018 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps). Sehingga kini suku bunga acuan menjadi 6,00 persen. 

Sementara suku bunga Deposit Facility naik sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Lalu suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen. "Keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan BI untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) ke dalam batas aman," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Jakarta, Kamis, (15/11).

Baca Juga

Ia menambahkan, kenaikan suku bunga kebijakan itu juga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan. 

Selanjutnya, kata dia, untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas di perbankan, BI menaikkan porsi pemenuhan GWM Rupiah Rerata baik konvensional maupun syariah. Kenaikannya dari 2 persen menjadi 3 persen. 

"BI pun meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial atau PLM konvensional dan syariah yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dari 2 persen menjadi 4 persen. Masing-masing dari Dana Pihak Ketiga (DPK)," jelas Perry. 

Di bidang kebijakan makroprudensial, Perry menuturkan, BI juga mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar nol persen. Lalu Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada target kisaran 80 sampai 92 persen. 

"Ke depan, BI akan mengoptimalkan bauran kebijakan guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," tegas Perry. BI juga akan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal.

Termasuk untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan agar menurun. Dengan begitu menuju kisaran 2,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019. 

"Bauran kebijakan BI dan Pemerintah diyakini akan dapat mengelola dampak perubahan ekonomi global. Dengan begitu perekonomian tetap berdaya tahan di tengah ketidakpastian global," kata Perry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement