REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri menyebutkan dua tantangan besar pemerintah dan pengusaha dalam mengembangkan serta menguatkan industri maritim Indonesia. Tantangan itu adalah nelayan dan pembudidaya yang miskin.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun ini, Rokhmin menjelaskan, setidaknya 20 sampai 48 persen nelayan dan 10 hingga 30 persen pembudidaya tergolong miskin. "Ini sebuah fakta yang harus diperhatikan dan diatasi," tuturnya dalam diskusi mengenai industri kemaritiman dan kelautan di Jakarta, Rabu (14/11).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi miskin pada nelayan dan pembudidaya. Di antaranya harga jual hasil tangkap yang terlalu murah dibanding dengan biaya produksi. Kuantitas produksi dari dua kalangan ini, terutama usaha kecil dan menengah, terlampau rendah dibandingkan pengusaha perikanan skala besar.
Banyak penyebab juga yang menyebabkan kuantitas tangkapan rendah. Menurut Rokhmin, di antaranya dikarenakan metode tradisional yang masih diterapkan sebagian besar nelayan dan pembudidaya. Mulai dari kegiatan penangkapan ikan, budidaya, pengolahan dan perdagangan, diterapkan secara konvensional.
Rokhmin memberikan contoh, dari 625.633 unit kapal ikan, setidaknya hanya 3.811 unit yang tergolong modern. Indikator modern sendiri ditandai dengan kapasitasnya yang berada di atas 30 gross ton (GT). "Jumlah tersebut sekitar 0,6 persen. Sangat kecil," ucapnya,
Isu tradisional juga merambah hingga tambak udang. Rokhmin menyebutkan, dari 380.000 hektare tambak udang di Indonesia, hanya sekitar 10 persennya yang telah dikelola dengan teknologi tinggi. Selain itu, dari 60.885 Unit Pengolahan Ikan (UPI), hanya 718 unit atau sekitar 1,2 persen yang dimanajemen secara modern.
Tidak kalah penting, Rokhmin menjelaskan, suku bunga pinjaman tinggi yang diberikan kepada nelayan membuat mereka semakin sulit keluar dari angka kemiskinan. Fungsi alokasi kredit untuk sektor kelautan dan perikanan pun terbilang rendah dibanding dengan negara lain.
Rokhmin mencatat, Indonesia masuk dalam negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen. Angka ini tinggi dibandingkan negara-negara Asia lain. Misalnya, Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), Cina (5,6 persen) dan Filipina (5,5 persen).
Sementara itu, dari total alokasi kredit perbankan nasional, Rokhmin menjelaskan, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp 2,6 triliun. "Dampaknya, nelayan Indonesia menjadi sulit berkompetisi dengan negara lain," tuturnya.
Untuk mengatasi ini, Rokhmin menganjurkan agar Bank Indonesia maupun penyedia jasa perbankan bersama pemerintah mampu menurunkan suku bunga pinjaman bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil. Sebab, tidak sedikit di antara mereka meminjam uang dari rentenir dengan bunga lima hingga 10 persen per bulan yang tergolong tinggi.
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebutkan, perekonomian Indonesia memiliki fakta ironis di usia kemerdekaan 73 tahun. Ironisnya, Indonesia merupakan negara subur dari hasil kelautan dan pertanian, tapi dua pelaku utamanya justru menghadapi kemiskinan, yakni petani dan nelayan.
Bambang menjelaskan, petani dan nelayan merupakan kelompok masyarakat paling miskin menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS). "Kok di tempat yang kita paling kaya secara alami, secara natural, pelakunya adalah orang miskin, orang yang tergolong kategori paling miskin di Indonesia?" ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Untuk mengurangi kemiskinan di profesi nelayan dan petani, Bambang berharap, sektor pertanian dan kelautan dapat masuk dalam industri pengolahan makanan dan minuman (mamin). Sebab, industri ini memiliki nilai tambah, baik untuk ekspor maupun peningkatan kesejahteraan pelaku.