REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan peluang pasar ekspor dan lokal untuk komoditas rajungan terus meningkat setiap tahunnya. Namun, kata Slamet, saat ini kebutuhan pasar ekspor masih sangat tergantung dari hasil tangkapannya di alam, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan eksploitasi berlebih.
"Bila hanya mengandalkan tangkapan alam, tentu kenaikan produksi sangat bergantung banyak hal. Inovasi melalui teknologi pembenihan dan budidaya menjadi terobosan yang sangat penting. Budidaya juga menjadi solusi untuk menjaga kelestariannya di alam," ujar Slamet dalam siaran pers di Jakarta, Senin (31/8).
Slamet menyampaikan rajungan atau dikenal dengan nama dagang Blue Swimming Crab menjadi penyumbang utama Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan Indonesia bersama dengan udang, tuna-tongkol-cakalang, cumi-sotong-gurita dan rumput laut. Pasar ekspor rajungan terbuka ke beberapa negara seperti Amerika, Australia, Jepang dan Uni Eropa.
Slamet menjelaskan pengembangan budidaya rajungan telah dilakukan sejak 2005 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) yaitu di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.
Slamet mengatakan tingkat kelulushidupan benih rajungan hasil proses pembudidayaan mencapai 30 persen sampai 48 persen dan ditingkat pembesaran berkisar 30 persen sampai 35 persen. Hal ini menjadi dasar utama pengembangan teknologi budidaya rajungan berkelanjutan.
"Selain itu, hasilnya dapat digunakan untuk restocking benih di alam sehingga menambah populasi rajungan di habitat alaminya semakin meningkat," kata Slamet menambahkan.