REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Program Magister Managemen Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Jakarta Dr I Made Adnyana meminta pemerintah melakukan evaluasi atas pemberlakuan ketentuan penyederhanaan tata niaga impor. Khususnya, yang menyangkut ketentuan tentang pemberlakuan post border dalam pengawasan impor yang berlaku mulai Februari 2018 lalu.
"Pemberlakuan post border dalam pengawasan impor menjadi salah satu penyebab banjirnya produk-produk impor di Tanah Air," ujar Adnyana dalam keterangan tertulis pada Rabu (17/10).
Menurut dia, akibat membanjirnya barang-barang impor, pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia berada pada posisi yang mengkhawatirkan. Ia mengatakan, perdagangan Indonesia terus mengalami defisit sejak awal 2017 sampai Agustus 2018.
"Membanjirnya barang-barang impor mengancam keberlangsungan industri dalam negeri dan ketersediaan lapangan pekerjaan," kata Adnyana dalam seminar ekonomi nasional di Jakarta itu.
Ia menyebut, jika ekspor yang dilakukan Indonesia pada 2017 mengalami kenaikan dibandingkan 2016 sebesar 6,93 persen. Akan tetapi, lanjut Adyana, kenaikan ekspor tersebut dibarengi dengan kenaikan impor dari 12. 782,5 milyar dolar AS menjadi 15.061,2 milyar dolar AS. "Naik sebesar 17,83 persen. Artinya, kenaikan import tidak diimbangi dengan kenaikan ekspor,” tutur Adnyana.
Adnyana menjelaskan, penurunan yang tajam justru dari komoditas andalan ekspor Indonesia yang berbasis pada sumber daya alam dan memiliki keunggulan komparatif. Komoditas ekspor itu seperti karet, kopi, minyak sawit, serta produk yang dihasilkan dengan teknologi rendah dan padat karya yaitu kayu lapis, kertas, alas kaki, pulp, tekstil dan pakaian jadi.
Sementara, lanjut dia, peningkatan impor nonmigas terbesar pada Agustus 2018 dibandingkan Juli 2018 adalah golongan susu, mentega, dan telur sebesar 48,6 juta dolar AS (94,19 persen). Sedangkan, penurunan impor terbesar adalah golongan mesin dan pesawat mekanik sebesar 296,3 juta dolar AS (11,31 persen).
“Artinya, pemberlakuan ketentuan mengenai post border tidak efektif untuk mengurangi defisit neraca perdagangan. Karena impor yang datang bukan impor yang dibutuhkan sebagai pendukung ekspor, tetapi justru impor yang lebih berorientasi untuk kebutuhan konsumtif,“ jelas Adnyana.
Ia berpendapat, pengendalian impor yang dilakukan pemerintah saat ini tidak cukup. Ia mengatakan, pemerintah perlu melakukan evaluasi kebijakan atas pemberlakuan post border agar impor tidak membanjiri pasar dalam negeri.
Pengaruh penerapan biodesel 20
Selain itu, dosen Pascasarjana Administrasi Publik Unas Rusman Gazali menjelaskan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Oktober 2018, Indonesia pada September lalu mengalami surplus perdagangan sebesar 230 juta dollar AS. Akan tetapi, menurut dia, surplus tersebut bukan karena keberhasilan pemerintah mengendalikan impor.
"Tetapi lebih karena keberhasilan penerapan ketentuan penggunaan Biodiesel 20 (B20) terhadap bahan bakar minyak, sehingga mengurangi impor migas sebesar 25,20 persen dibanding Agustus 2018," kata Rusman.
Ia mengatakan, penurunan angka impor juga patut disyukuri. Akan tetapi, menurut dia ini tetap rentan karena impor non-migas hanya turun 10,52 persen. "Itu pun yang turun malah impor mesin/peralatan, sedangkan impor barang konsumtif seperti buah-buahan malah naik 66,46 peren,” jelas Rusman.
Kemudian dosen Komunikasi Bisnis Institut STIAMI Eman Sulaeman Nasim mengatakan, membanjirnya barang-barang impor berbahaya dalam kondisi ekonomi saat ini. Menurut dia, selain dapat mengancam keberlangsungan industri juga menambah angka pengangguran karena berkurangnya lapangan pekerjaan.
"Banyaknya pengangguran akan berimbas kepada keamanan di masyarakat. Karena itu pemerintah diminta mengendalikan impor secara tegas," kata Eman.
Ia mengatakan, kemudahan impor dalam ketentuan mengenai post border menjadi salah satu sebab membanjirnya produk impor ke Tanah Air. Ia menjelaskan, kebijakan post border itu adalah pemberlakuan "pelonggaran kebijakan" impor. Di mana awalnya pengendalian impor dilakukan oleh bea cukai yang kemudian diserahkan ke Kementerian Perdagangan.
“Karena itu, pemerintah harus berani mengoreksi kebijakan tersebut. Kembalikan saja pada ketentuan lama mengenai larangan terbatas (lartas) barang-barang impor," ungkap Eman.
Ia juga meminta pemerintah harus melindungi berbagai macam produksi dalam negeri dan mendorong peningkatan ekspor. Sebab, menurut dia, tingginya angka impor membahayakan stabilitas ekonomi dan keamanan di dalam negeri baik jangka pendek maupun jangka panjang.
"Peningkatan angka ekspor akan menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak. Dengan demikian, anak-anak muda kita khususnya generasi milineal bisa terserap tenaga dan kreatifitasnya,” jelas Eman.