Rabu 12 Sep 2018 06:06 WIB

Asosiasi UMKM: Pemerintah Harus Fokus pada Industri Hulu

Pengembangan industri hulu dapat menekan impor.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pelepasan Ekspor Manufaktur. Kapal kontainer ukuran raksasa CMA CGM mengisi muatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Pelepasan Ekspor Manufaktur. Kapal kontainer ukuran raksasa CMA CGM mengisi muatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumkindo) Ikhsan Ingratubun menjelaskan, pemerintah harus fokus terhadap hulu apabila memang ingin mengembangkan industri manufaktur di Indonesia. Sebab, kelemahan terbesar pada sektor tersebut adalah penggunaan produk impor pada hilir. Dampaknya, industri menjadi ketergantungan dan mudah terpengaruh di tengah kondisi ekonomi global saat ini.

Ikhsan menjelaskan, pemerintah harus memprioritaskan kegiatan hulu, yakni dengan mengelola bahan alam menjadi bahan baku. Nantinya, bahan ini bisa diolah oleh pelaku industri kecil dan menengah (IKM), sehingga tidak akan bergantung lagi pada produk impor. "IKM harus mulai produksi sendiri," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (11/9).

Namun, Ikhsan mengakui, penghentian penggunaan produk impor tidak dapat dilakukan secara simultan melainkan bertahap. Pelaku IKM dapat membantu pemerintah untuk menentukan bahan baku mana saja yang patut menjadi prioritas. Selama ini, yang paling dibutuhkan adalah bahan untuk produk makanan dan minuman perbengkelan serta pakan ternak.

Baca juga, Pengamat: Stimulus Penting untuk Industri Manufaktur

Ikhsan memberikan contoh produk pakan ternak yang 80 persen dari komponennya masih impor. Hanya sekitar 20 persen berasal dari dalam negeri, seperti jagung. Dampaknya berimbas kepada IKM hilir seperti ayam petelur dan pedaging yang membutuhkan pakan. Begitu bahan baku dari luar negeri mengalami kenaikkan harga, otomatis mereka harus mengeluarkan modal lebih.

Banyak insentif yang dapat diberikan pemerintah terhadap kegiatan hulu industri manufaktur ini. Misalnya, memaksimalkan peranan BUMN seperti Bulog sebagai badan penjaga pangan. "Dengan begitu, serapan bahan alam kita terjaga, seperti jagung itu. Setelah itu, diolah oleh industri hulu untuk menjadi bahan baku yang bisa dibuat pada industri hilir," ujar Ikhsan.

Ikhsan menuturkan, dalam mengembangkan industri manufaktur, dibutuhkan proses perlindungan yang saling berkesinambungan. Dengan fokus penyerapan produk lokal pada kegiatan hulu, kegiatan hilir turut terkena dampak.

Penguatan dolar AS terhadap rupiah saat ini sudah sepatutnya dijadikan sebagai momentum untuk memanfaatkan produk lokal semaksimal mungkin. Ikhsan menilai, sejak masa orde baru sampai saat ini, industri manufaktur terlalu dimanjakan dengan produk impor. "Untuk memperbaiki ini, yang harus dilakukan atau direvolusi adalah kegiatan hulu," tuturnya.

Ikhsan menyebutkan, salah satu contoh industri hulu yang sudah mati akibat impor adalah gula. Sejak dua dekade lalu, pabrik gula sudah tutup karena pemerintah terlalu membiarkan produk gula rafinasi masuk dari luar negeri. Akibatnya, industri makanan dan minuman sangat bergantung terhadap gula impor.

Padahal, Ikhsan menambahkan, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang bisa diolah dalam industri gula. "Kita punya tebu, gula kelapa yang bisa dimanfaatkan untuk industri. Kalau ini diserap dengan baik dan dikelola secara tepat, kita tidak lagi bergantung ke impor," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, industri manufaktur menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan dalam mengimplementasikan revolusi industri 4.0 di Indonesia. Beberapa sektor potensial itu di antaranya industri logam, otomotif serta IKM.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement