REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemerintah Turki telah menaikkan tarif masuk terhadap sejumlah produk Amerika Serikat (AS) pada Rabu (15/8). Tak tanggung-tanggung, Turki meningkatkan tarif masuknya hingga 100 persen.
"Tarif pajak atas impor beberapa produk telah meningkat sebagai balasan terhadap serangan yang disengaja oleh Pemerintah AS terhadap ekonomi kita," kata Wakil Presiden Turki Fuat Oktay melalui akun Twitter pribadinya, dikutip laman Anadolu Agency.
Adapun produk-produk yang terdampak dengan kenaikan tarif ini antara lain mobil, beras, minuman beralkohol, dan produk tembakau. Terdapat pula beberapa produk kosmetik seperti krim matahari yang turut terimbas.
Hubungan antara Turki dan AS menegang setelah Presiden AS Donald Trump memutuskan menaikkan bea masuk atas impor alumunium dan baja dari Turki menjadi 20 dan 50 persen. Langkah itu menyebabkan nilai mata uang Turki kolaps dan terpuruk.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Turki Hami Aksoy mengatakan keputusan Trump meningkatkan tarif masuk terhadap aluminium dan baja dari negaranya telah melanggar peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kementerian Luar Negeri Turki pun menyatakan akan membalas keputusan tersebut.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyatakan akan memboikot semua produk atau barang elektronik asal AS. Aksi boikot itu termasuk iPhone, ponsel pintar milik perusahaan teknologi raksasa, Apple.
Memanasnya hubungan Turki dengan AS salah satunya dipicu kasus Andrew Brunson, seorang pastor yang kini ditahan Turki. Ia dituding terlibat gerakan makar dan subversif terhadap pemerintahan Erdogan dua tahun lalu, tepatnya ketika upaya kudeta yang gagal.
AS telah lama menyeru Turki agar melepaskan warganya itu. Namun, Turki menolak. Belakangan Pemerintah AS mengancam bahwa Turki akan menerima lebih banyak tekanan ekonomi jika tetap enggan membebaskan Brunson.
"Presiden (Trump) berkomitmen untuk membawa pastor Brunson pulang, dan jika kami tidak melihat tindakan dalam beberapa hari atau pekan berikutnya, mungkin ada tindakan lebih lanjut yang akan diambil," ungkap seorang pejabat Gedung Putih.