Sabtu 23 Jun 2018 16:36 WIB

Apindo Pertanyakan Kewajiban Sertifikasi Halal

Apindo merasa suara para pelaku usaha tidak didengar dalam hal ini

Logo halal dari LPPOM MUI.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Logo halal dari LPPOM MUI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kewajiban sertifikasi halal Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) akan mulai berlaku 17 Oktober 2019. Dengan adanya UU tersebut, sanksi tegas akan diterapkan atas kelalaian menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga pemeriksa halal yang berwenang selama ini.

Namun demikian, pembuatan sertifikat halal yang bersifat mandatory (wajib) tersebut rupanya kurang mendapat tanggapan baik dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani, justru menilai UU JPH berpotensi menimbulkan masalah pada saat penerapannya nanti. Pasal 4 UU No.33 Tahun 2014 menyebutkan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Ia mengatakan, sertifikasi halal seharusnya tidak bersifat wajib atau mandatory. Karena yang berlaku secara umum di dunia untuk sertifikat halal, menurutnya, adalah voluntary atau sifatnya sukarela.

Dalam hal ini, saat pelaku usaha menyatakan produknya halal, maka yang bersangkutan wajib membuat atau mendapatkan sertifikat halal. Sementara mandatory, ia menilai kewajiban membuat sertifikat halal berlaku bagi semua pelaku usaha tanpa melihat apakah produknya berbahan baku halal atau tidak.

"Kita melihat motifnya bukan hanya untuk masalah syariah, tapi secara sistematis itu dibuat menjadi undang-undang yang menimbulkan biaya tambahan yang baru. Kami dari pelaku usaha kecewa berat. Yang namanya sertifikasi halal jadi mandatory itu tidak ada," kata Hariyadi saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (22/6).

Di samping itu, ia mengatakan kewajiban membuat sertifikat halal akan menjadi tambahan biaya yang baru bagi seluruh industri, baik itu manufaktur maupun jasa. Menurutnya, undang-undang tersebut akan menjadi biaya tambahan lantaran sertifikasi ini akan mengharuskan dilakukannya pembaharuan setiap 4-5 tahun sekali untuk produk yang sama oleh para pelaku usaha. Ia merasa suara para pelaku usaha tidak didengar dalam hal ini.

Tidak hanya itu, ia juga menilai UU JPH ini akan menurunkan investasi di Indonesia. Karena negara-negara lain akan menganggap peraturan tersebut sebagai rintangan yang baru yang diciptakan oleh negara. "Kami mendukung bahwa seharusnya UU produk halal itu bersifat voluntary atau sukarela," lanjutnya.

Hariyadi juga mempertanyakan soal sumber dana yang akan digunakan untuk pembuatan sertifikat halal, jika itu akan dibiayai oleh negara. Sebelumnya, Indonesia Halal Watch dan Ketua LPPOM MUI Lukmanul Hakim menyatakan bahwa pemerintah harus turun tangan dan membiayai pembuatan sertifikat halal bagi para pelaku usaha atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Hariyadi mengatakan, bahwa Apindo sudah menyatakan keberatan terhadap UU JPH yang menjadikan pembuatan sertifikat halal bersifat mandatory. Ia menilai pengesahan UU tersebut tidak dilakukan uji publik secara benar dan tidak melibatkan para pengusaha.

Karena itu, ia meminta DPR bersama pemerintah meluruskan kembali peraturan dalam UU JPH tersebut. Ia sepakat jika undang-undang tersebut dibuat dalam rangka meningkatkan kompetisi di dunia usaha. Hanya saja, Hariyadi mengaku menyesalkan pembuatan sertifikat halal yang bersifat mandatory.

Menurutnya, kebanyakan pelaku usaha yang sudah mengajukan sertifikasi halal adalah industri yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Karena mereka menyatakan bahwa produk mereka halal.

Umumnya, mereka memiliki kesadaran sendiri untuk membuat sertifikat halal karena mereka memiliki kepentingan untuk memberikan informasi kepada konsumennya. Dalam hal ini, pembuatan sertifikat halal tersebut bersifat voluntary atau sukarela.

"Akibat kebijakan ini nanti akan terjadi penurunan investasi yang cukup signifikan. Pasal yang kita minta hanya satu, balikkan menjadi voluntary, jangan bersifat mandatory," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement