Selasa 19 Jun 2018 02:18 WIB

Kenaikan Suku Bunga The Fed tak Pengaruhi Negara-Negara Ini

Negara dengan surplus yang cukup besar tidak masalah dengan pelemahan mata uang.

Kantor The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat
Foto: Wikimedia Commons
Kantor The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) mengguncang sejumlah negara berkembang. Hal ini berarti terjadi pelemahan sejumlah mata uang terhadap dolar AS. Namun, ada sejumlah negara yang tak terpengaruh dengan pelemahan ini.

The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi dua persen. Keputusan ini mendorong bank sentral sejumlah negara melakukan intervensi dengan menaikkan suku bunga acuan. Hal ini dilakukan untuk mencegah pelemahan mata uang negara tersebut. Salah satunya, Indonesia dan Filipina.

Namun, ada yang tidak terlalu terpengaruh dengan kenaikan suku bunga The Fed ini. Thailand, Korea Selatan dan Malaysia merasa tidak perlu mengikuti langkah The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan mereka.

"Saya merasa hal itu tidak perlu karena beberapa negara mengalami surplus yang sangat besar, sehingga mereka baik-baik saja dengan pelemahan mata uang dan capital outflow," kata Frederic Neumann, co-head Analis Ekonomi Asia di HSBC, Senin (18/6) waktu setempat.

Pelemahan mata uang dapat membantu mengangkat inflasi di bawah target. Pertemuan bank sentral di Thailand dan Taiwan kemungkinan memperkuat pandangan itu. Ekonom melihat maksimal hanya ada satu kali kenaikan suku bunga di kedua negara tersebut selama 18 bulan ke depan. Sementara, The Fed diperkirakan akan melakukan penyesuaian suku bunga sebanyak lima sampai enam kali pada jangka waktu yang sama.

Peso Filipina melemah hampir tujuh persen sejak Januari. Saat ini, nilainya terendah selama 12 tahun. Rupee India hampir berada di titik terendah sementara rupiah melemah lima persen setelah Bank Indonesia dua kali menaikkan suku bunga. Sebaliknya, won Korea Selatan, baht Thailand dan dolar Taiwan masing-masing melemah tiga persen sejak Januari 2018.

Salah satu alasan mengapa negara yang ekonominya surplus kurang mendapat tekanan adalah karena posisi investor asing. Di negara yang defisit, investor memilih berinvestasi pada obligasi jangka pendek. Obligasi jenis ini lebih likuid dan kurang berisiko. Di negara yang surplus, investor asing mempercayakan dana mereka pada surat berharga jangka panjang.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement