Selasa 05 Jun 2018 14:02 WIB

Biaya Produksi Meningkat, Petani Kecewa HET Turun

Mekanisasi untuk menekan biaya produksi belum dilakukan secara menyeluruh.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang petani membajak sawah untuk ditanami padi di Desa Sidera, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Seorang petani membajak sawah untuk ditanami padi di Desa Sidera, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Biaya produksi beras tahun ini mencapai rata-rata Rp 4.280 per kilogram (kg). Angka itu meningkat dari biaya produksi pada 2016 sebesar Rp 4.079 per kg. Karena itu petani menyayangkan jika pemerintah memangkas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalah (KTNA) Winarno Thohir mengatakan, biaya produksi di setiap daerah berbeda. Misalnya di Jawa dan Sumatera Selatan (Sumsel).

"Kalau di Jawa cukup 25 kg benih, di Sulsel harus 60 kg karena ditabur, tapi analisa usaha taninya lebih murah karena enggak ada biaya tanam," ujar dia, Selasa (5/6).

Tingginya biaya produksi tersebut sebenarnya bisa ditekan melalui upah buruh dan sewa lahan. Dua hal tersebut menjadi titik pengeluaran yang paling besar. Untuk itu, Kementerian Pertanian membantu alat dan mesin pertanian (alsintan) guna menekan tingginya buruh tani.

Hanya saja, kata dia, penerapan penggunaan alsintan atau mekanisasi secara penuh belum dilakukan menyeluruh. Salah satu wilayah yang telah menerapkan peniuh mekanisasi pertanian adalah Papua dan Papua Barat. Hal tersebut membuat biaya produksi yang murah yakni Rp 2.600 per kg. "Jadi kita dengan ASEAN juga kuat kalau full mekanisasi, tapi nanti ada yang protes karena tenaga kerja," ujarnya.

Hasil panen para petani dibeli dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan melalui Inpres Nomon 5 Tahun 2015. Winarno mengakui, petani telah meminta kenaikan HPP sejak 2016 sebesar 10 persen. Angka tersebut muncul mengingat adanya inflasi lima persen per tahun. "Sekarang ini harusnya 20 persen dari 2015," ujar dia.

Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015, HPP ditetapkan Rp 3.700 per kg GKP. Dengan kenaikan 20 persen, kata dia, HPP harusnya sebesar Rp 4.200 per kg GKP dengan harga beras Rp 8.800 per kg tanpa margin.

"Yaudah sekarang dengan Rp 9.450 per kg (setelah tambahan margin; red) itu rantai pasarnya diperpendek, petani dapat margin. Eh malah diturunkan sekarang Rp 8.900 HET nya," katanya.

Permintaan kenaikan HPP ini telah disampaikan Winarno kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Mentan merespons dengan sudah adanya fleksibilitas HPP 10 persen yang bisa ditetapkan melalui SK Menteri. "Kalau menunggu Inpres, lama. Baiknya Inpres tapi terlepas dari Inpres atau non Inpres, sekarang yang penting kita terbantu," ujar Winarno.

Seperti diketahui, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan menurunkan HET beras kualitas medium dari Rp 9.450 per kilogram menjadi Rp 8.900 per kilogram. Penurunan ini dilakukan untuk menurunkan harga beras.

Namun Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifli Rasyid menilai kebijakan pemerintah menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras tidak tepat untuk bisa menstabilkan harga komoditas tersebut.

"Kalau menurut saya pemerintah agak panik kelihatannya. Kalau ingin menurunkan harga beras dengan menurunkan HET yang sudah ditetapkan itu saya rasa kurang tepat," kata Zulkifli ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (4/6).

Zulkifli mengatakan, saat ini pasokan beras dari daerah ke pasar sudah berkurang. Menurutnya, solusi untuk tetap menjaga pasokan beras adalah dengan melakukan impor. Akan tetapi, ia mengaku, impor beras yang dilakukan pemerintah bisa tidak efektif jika pedagang masih dikenai sejumlah persyaratan.

Sementara Ketua Bulog Budi Waseso sebelumnya mengaku akan menahan impor mengingat masih banyaknya cadangan beras di gudang Bulog.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement