REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepertinya geram terhadap perhatian parapolitisi dan beberapa ekonom yang dianggap memainkan isu utang negara. Isu utang negara, kata Sri, diperdebatkan seolah-olah Indonesia dalam kondisi krisis utang.
Akibatnya, masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya. "Dikatakan luar biasa dikarenakan isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesi sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarkat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya," ujarnya lewat siaran pers, Jumat (24/3) malam.
Menurut Menkeu, utang bukan satu-satunya instrumen kebijakandalam mengelola perekonomian. Ada instrumen lain yang sangat penting seperti pajak, cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), instrumen belanja dan alokasinya, kebijakan perdagangan dan invetasi, ketenagakerjaan, pendidikan dan kesehatan, hingga kebijakan desentralisasi dan transfer ke daerah.
Sri Mulyani mencontohkan, komponen aset dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah. Aset merupakan akumulasi dari hasil belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya.
Nilai aset negara pada 2016 berdasarkan audit BPK sebesar Rp 5.456,88 triliun. Nilai tersebut masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah,gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Hasil revaluasi aset tahun 2017terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp 781 triliun menjadi Rp 2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp 1.867 triliun.
Nilai tersebut masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017. "Kenaikan kekayaan negaratersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karenakekayaan negara merupakan pemupukan asset setiap tahun termasuk yang berasaldari utang," kata Menkeu.
Sri Mulyani juga meminta agar para politisi maupun ekonom yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanjamodal atau bahkan dengan belanja infrastruktur kurang memahami dua hal.
Belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementrian Lembaga Pemerintah pusat, tetapi juga dilakukan Pemerintah Daerah. Dana transfer ke daerah meningkat sangatbesar dari Rp 573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp 766,2 triliun pada 2018. Sebanyak 25 persen diharuskan sebagai belanja modal, meski belum semuapemerintah daerah mematuhinya.
Kedua, dalam kategori belanja infrastruktur,tidak seluruhnya belanja modal. Karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masukdalam belanja barang.
"Oleh karena itu pernyataan bahwa tambahan utang disebutsebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang samabesarnya adalah kesimpulan yang salah," tegasnya.