REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengaku tidak terlalu mengkhawatirkan pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap utang swasta. Hal ini dikarenakan sudah banyak perusahaan swasta yang melakukan lindung nilai (hedging).
Berdasarkan data BI, sepanjang Maret 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah melemah 0,27 persen. Kendati begitu, rupiah sudah mulai mengalami penguatan sejak awal pekan. Nilai tukar rupiah dalam transaksi antarbank di Jakarta pada Rabu (14/3) pagi bergerak naik empat poin menjadi Rp 13.731 per dolar AS dari Rp 13.735 per dolar AS.
"Dari laporan yang kami dapat, lebih dari 90 persen itu sudah comply terhadap ketentuan itu. Seharusnya kalau mereka sudah hedging sesuai yang dilaporkan, dampaknya bisa dimitigasi," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi di Gedung Bank Indonesia, Rabu (14/3).
Ketentuan mengenai hedging ini sudah ditetapkan bank sentral sejak 2014 lalu. Dalam aturan tersebut, BI mewajibkan rasio lindung nilai sebesar 25 persen bagi korporasi yang memiliki utang luar negeri dalam valuta asing, untuk kewajiban valas dengan jangka waktu nol hingga tiga bulan maupun tiga hingga enam bulan.
Doddy menjelaskan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini merupakan sentimen global, terutama kondisi perekonomian AS. Ekspektasi pasar terhadap keputusan Federal Reserve dalam menaikkan suku bunga hingga tiga kali menimbulkan volatilitas pada dolar AS. Namun, menjelang dan sesudah pertemuan FOMC pada 21 Maret mendatang, rupiah dipastikan akan terus menguat.
"Kami melihat pergerakan rupiah dua hari terakhir positif akan terus bertahan. Kemudian koreksi di pasar global selesai dan rupiah kembali di level selanjutnya sesuai fundamental," kata Doddy.