Jumat 19 Jan 2018 05:49 WIB

Tiga Kejanggalan Menyelimuti Impor Beras

Impor beras yang diputuskan pemerintah menyisakan sedikitnya tiga kejanggalan.

Harga Beras Naik. Pekerja memindahkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Harga Beras Naik. Pekerja memindahkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Budi Raharjo

Pemerintah kukuh mengambil jalan pintas mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton dengan alasan untuk merespons harga beras yang terus melambung di dalam negeri. Fakta bahwa panen padi mulai terjadi di sejumlah daerah dan panen raya akan dilakukan pada akhir Januari sampai Februari nanti tak lantas membatalkan niat tersebut.

Data-data surplus beras yang disajikan sejumlah daerah pun tak juga menggugah pemerintah. Mengapa pemerintah begitu ngotot mengimpor beras? Terdapat tiga hal yang patut dipertanyakan dari kebijakan impor beras ini.

Pertama, dari sisi izin impor beras. Kementerian Perdagangan (Kemendag) meralat izin impor beras sebanyak 500 ribu ton yang akan didatangkan pada akhir Januari. Awalnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, beras akan segera didatangkan dari Thailand dan Vietnam.

"Saya tidak mau mengambil risiko kekurangan pasokan. Saya mengimpor beras khusus," ujarnya, dalam konferensi pers di Auditorium Kementerian Perdagangan, Kamis (11/1).

Namun, belakangan, izin impor kepada PPI ini diralat oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution. Darmin mengatakan, impor beras dialihkan dari PPI ke Perum Bulog. Pengalihan tersebut mempertimbangkan sejumlah hal. Di antaranya, aturan yang berlaku, seperti Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016.

Merespons dikeluarkannya izin tersebut, Bulog bertindak cepat. Bulog langsung menggelar lelang pengadaan beras impor dari lima negara. Tak seperti rencana awal, impor beras tidak lagi hanya bersumber dari Thailand dan Vietnam.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, lelang hanya boleh diikuti oleh anggota asosiasi dari negara-negara produsen yang dituju, yakni Thailand, Vietnam, India, Pakistan, dan Myanmar.

Kedua, beras impor tak akan dilepas ke pasar. Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, beras impor itu akan digunakan untuk memperkuat stok cadangan beras pemerintah, Direktur Komersil Bulog Tri Wahyudi memastikan, datangnya beras impor tidak akan menganggu kegiatan penyerapan gabah dan beras petani.

Pada tahun ini, Bulog menargetkan dapat menyerap 2,7 juta ton setara gabah yang meliputi beras untuk kebutuhan bantuan sosial, beras komersial dan beras cadangan pemerintah.

Hanya, pertanyaannya, kalau memang Bulog sudah membuat target penyerapan gabah dan beras petani, mengapa cara ini yang tidak diutamakan ketimbang impor beras? Karena toh, waktu kedatangan beras impor bersamaan dengan dimulainya panen raya.

Terlebih, beras yang dibutuhkan Bulog hanya untuk memperkuat stok cadangan beras pemerintah, bukan untuk kebutuhan mendesak operasi pasar atau dijual ke pasaran saat ini.

Ketiga, beras premium kontra medium. Rencana Kemendag yang mulanya ingin mengimpor beras premium, bukan medium, menuai pertanyaan. Padahal, persoalan ada pada beras medium. Di sisi lain, Kementerian Pertanian menyatakan stok beras masih cukup, sehingga tidak perlu impor. Namun, data Kemendag berbeda, terjadi defisit stok yang memaksa dilakukannya impor beras.

Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih menilai, terdapat keanehan dari perbedaan data antara dua kementerian pemerintah terkait beras. Di satu sisi, dikatakan surplus, di sisi lain defisit. Kemudian, kata dia, beras yang diimpor juga tidak sesuai dengan kebutuhan.

Ia menyatakan kebijakan tersebut menjadi tidak relevan jika pemerintah memaksakan barang yang diimpor adalah beras khusus (premium). Pemerintah berargumen bahwa langkah impor diambil sebagai solusi untuk mengisi kekurangan pasokan dan menurunkan harga yang terjadi pada beras medium.

(antara, pengolah: muhammad iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement