Senin 04 Dec 2017 17:45 WIB

Inflasi November Menunjukkan Terjadinya Pelemahan Permintaan

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nidia Zuraya
Konsumen/ilustrasi
Foto: IST
Konsumen/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, tingkat inflasi sebesar 0,2 persen pada November 2017 menunjukkan indikasi permintaan yang rendah dari konsumen. Inflasi November 2017 lebih rendah dari prediksi CORE Indonesia yang sebesar 0,3 persen.

Faisal mengaku, pada November kerap terjadi kecenderungan kenaikan inflasi terutama menjelang akhir tahun. "Biasanya dari November itu sudah mulai terasa. Tapi, ternyata kenaikan November ini tidak terlalu tinggi. Artinya, dari sisi demand terutama kalangan menengah ke bawah ini agak sedikit melemah," ujar Faisal ketika dihubungi Republika, Senin (4/12).

Faisal menjelaskan, faktor utama pendorong inflasi pada November 2017 adalah kelompok bahan makanan. Kelompok pengeluaran tersebut, kata Faisal, banyak berkaitan dengan konsumsi masyarakat menengah ke bawah.

Selain itu, menurut Faisal, tingkat inflasi yang rendah tercapai karena faktor impor. Ia mengaku, pemerintah mengatasi inflasi pada bahan pangan dengan mempermudah impor.

Faisal memprediksi, pemerintah dapat mencapai target inflasi tahun ini yang berada di kisaran 3 persen. Akan tetapi, ia mengaku perlu dicermati kinerja pemerintah dalam menekan inflasi tersebut.

Faisal mengatakan, pengendalian inflasi yang baik adalah ketika permintaan tinggi dan pemerintah dapat mengintervensi dengan pasokan pangan yang baik dan distribusi yang lancar.

"Tapi kalau inflasi rendah karena memang daya beli lemah, di sisi lain banyak sekali upaya yang digunakan untuk menekan harga di level konsumen dengan mempermudah impor bahan pangan, saya kira inflasi rendah itu semu saja. Tidak menunjukkan sisi kekuatan ekonomi," ujarnya.

Faisal mengatakan,pemerintah harus terus menjaga daya beli masyarakat dengan kebijakan yang positif. Salah satu catatan Faisal yakni mengenai kebijakan perpajakan. Ia mengaku, saat ini ada kecenderungan masyarakat kelas menengah menahan belanja.

"Ini karena faktor psikologis dari cara pemerintah mengatasi masalah perpajakan," ujarnya.

Selain itu, menurut Faisal, isu pencabutan subsidi dan penyatuan golongan listrik bisa berpotensi mengurangi daya beli masyarakat terutama dari kalangan menengah ke bawah. Faisal mengaku, subsidi tetap diperlukan untuk menjaga konsumsi kelompok menengah ke bawah.

"Untuk kelompok menengah atas, pemerintah harus mengembalikan kepercayaan diri masyarakat untuk bisa kembali berkonsumsi secara normal," ujar Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement