Ahad 03 Dec 2017 10:25 WIB

Setelah Google, Pajak Perusahaan Ekonomi Digital Lain Diburu

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Elba Damhuri
Google
Foto: EPA
Google

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku akan mengejar penerimaan pajak dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ekonomi digital. Hal ini ia sampaikan setelah perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS) Google akhirnya melunasi pajak di Indonesia.

"Ini paling tidak memberikan langkah awal yang bisa kita gunakan untuk institusi-institusi lain yang kita lihat memiliki model bisnis yang sama," ujar Sri Mulyani di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sri Mulyani tidak merinci perusahaan yang akan menjadi target otoritas pajak. Meski begitu, menurut Sri Mulyani, momentum tersebut dapat memberikan hal positif dalam persaingan usaha. "Ini akan memberikan kepastian usaha bagi semuanya," ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut mengapresiasi kinerja Direktorat Jenderal Pajak dan kepatuhan Google untuk membayar pajak di Indonesia. Ia berharap Google bisa terus melanjutkan kepatuhan dan menyetorkan pajak di tahun-tahun selanjutnya.

"Semoga ini terus terjaga karena yang kita diskusikan saat ini adalah kewajiban pajak Google dari 2015. Jadi, ada beberapa tahun ke depan yang terus kita pajaki," ujarnya.

Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Jakarta Khusus Direktorat Jenderal Pajak Muhammad Haniv mengatakan, pemerintah akan menagih pajak baik Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejumlah perusahaan lain yang bergerak di bidang ekonomi digital.

Dua perusahaan yang ia sebutkan adalah Facebook dan Twitter. Meski begitu, Haniv mengaku masih akan menunggu aturan perpajakan mengenai ekonomi digital yang saat ini sedang diselesaikan.

Haniv mengimbau kepada seluruh perusahaan untuk menjauhi praktik perencanaan pajak agresif atau aggressive tax planning. Ia mengaku, hal itu berlaku di seluruh negara di dunia terutama untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki pendapatan besar.

"Apapun tax planning-nya kalau mengakibatkan pembayaran pajaknya terlalu kecil ya itu tidak adil. Agressive tax planning itu tidak boleh di negara mana pun juga," ujar Haniv.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement