REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menegaskan langkah seriusnya untuk menarik penerimaan pajak dari perusahaan digital multinasional seperti Google, Twitter, Netflix, Facebook, hingga Amazon. Selama ini, perusahaan-perusahaan tersebut memang tidak bisa dikukuhkan sebagai subyek pajak luar negeri yang bisa dipungut pajaknya.
Sebagai solusi, pemerintah mulai menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Relaksasi Perpajakan yang ditargetkan terbit 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, melalui beleid baru ini, perusahaan digital seperti di atas diperbolehkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dari konsumennya di Tanah Air.
"Supaya tidak ada penghindaran pajak karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya. Tarif sama, 10 persen," kata Sri di Kantor Presiden, Selasa (3/9).
Permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam memajaki perusahaan digital asing belum berhenti di sini. Selama ini, pemerintah kesulitan menarik pajak dari Google dan Netflix Cs lantaran mereka tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Peraturan perundang-undangan mengharuskan perusahaan asing harus memiliki BUT alias kantor tetap di Indonesia untuk bisa dipajaki.
"Dalam RUU ini, maka definisi BUT tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik. Walau mereka tak punya kantor cabang di Indonesia tapi kewajiban pajak tetap ada karena mereka ada Significant Economic Presence," kata Sri.
Sri menyampaikan tujuan akhir penyusunan RUU Relaksasi Perpajakan adalah meningkatkan iklim kompetitif di Indonesia di tengah perekonomian global yang lesu. Apalagi, ujar Sri, Presiden Jokowi selalu mewanti-wanti terkait tantangan perekonomian nasional yakni kinerja ekspor dan investasi yang sempat melambat.