REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Rencana investasi para pengusaha Cina ke industri hiburan AS harus berguguran seiring langkah Pemerintah Cina membatasi investasi luar negeri.
Penuruan ini terbilang signifikan. Berdasarkan riset Rhodium Group, pada 2016, cukuran dana dari Cina ke industri film dan televisi AS mencapai 4,78 miliar dolar AS. Per September 2017, turun 489 juta dolar AS.
Beijing sengaja membatasi investasi ke luar negeri karena khawatir hal itu melemahkan ekonomi mereka. ''Saat ini semua pihak memang menahan diri. Tapi bisnis tetap harus berjalan meski dalam kondisi serba terbatas,'' ungkap produser film Cristal Picture Scott Einbinder yang perusahaannya diampu East Light Media Hong Kong, seperti dikutip Los Angeles Times, Ahad (12/11).
Sebelum Cina, ada Prancis, India, dan Jepang yang pernah mencoba masuk ke industri hiburan AS namun mundur akibat utang, pertimbangan biaya, dan prioritas bisnis. Mundurnya Cina menimbulkan ketidakjelasan di industri hiburan AS. Meski begitu, mereka nampak tetap mencari investor strategis.
''Investasi asing memang nampak lesu. Banyak investasi Cina yang batal dan belum jelas dari mana itu semua akan digantikan,'' kata Kepala Media dan Hiburan Global Bank Leumi AS yang merupakan bagian Leumi Group Israel, Guillaume de Chalendar.
Di sisi lain, perusahaan terknologi seperti Netflix, Amazon, dan Apple berinvestasi untuk film dan acara televisi untuk layanan streaming mereka. Hal itu jadi sinyal positif bagi para pembuat film, tapi ancaman bagi studio-studio film besar.
De Chalendar mencontohkan Netflix yang diprediksi akan mengalokasikan delapan miliar dolar AS untuk pengembangan konten pada 2018, naik dari alokasi pada 2017 sebesar enam miliar dolar AS. Mereka membeli hak global film dan memangkas 'ladang' distributor.
Di luar itu semua, investor individu masih jadi sumber utama likuiditas bisnis hiburan Hollywood. ''Para miliarder ingin makin berpengaruh saat ini. Film dibuat karena mereka ingin,'' kata de Chalendar.
Meski begitu, film yang dari uang mereka tidak selalu disambut baik pasar. Belum lagi rekam jejak para miliarder yang kadang kontroversial, baik personal maupun sumber dananya.
Di sisi lain, aliran investasi asing diprediksi masih akan mengalir dari lembaga pengelolaan kekayaan berbagai negara. Misalnya Otoritas Investasi Qatar yang membeli Miramax pada 2010. Temasek dan GIC Singapura juga membeli CAA dan WME-IMG.
''Tentu saja, mereka akan sangat selektif mana yang bagus dan tidak. Ini adalah industri dimana Anda harus benar-benar tahu bagaimana menghasilkan uang,'' ungkap Presiden Sovereign Wealth Fund Institute, Michael Maduell.