Kamis 21 Aug 2025 12:43 WIB

Transisi Energi Butuh Dana Besar, PLN Didorong Terbitkan Green Bonds

Green bonds bisa untuk membiayai pembangunan transmisi energi baru terbarukan.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aryo Djojohadikusumo.
Foto: Istimewa
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aryo Djojohadikusumo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aryo Djojohadikusumo mendorong PLN menerbitkan green bonds untuk membiayai pembangunan transmisi energi baru terbarukan (EBT). Ia menilai instrumen finansial hijau ini penting agar Indonesia bisa mempercepat transisi energi sekaligus menjaga daya tarik investasi global.

Menurut Aryo, tantangan terbesar dalam pengembangan EBT ada pada pembangunan jaringan transmisi yang menghubungkan pembangkit dengan pusat beban. Dia mengatakan, internal rate of return (IRR) untuk pembangunan transmisi saat ini hanya sekitar enam persen.

Dalam dunia usaha, kata dia, angka itu terlalu rendah sehingga investor swasta berpikir panjang untuk berinvestasi.

“Karena itu, pembangunan transmisi mau tidak mau harus ditangani PLN. Di sinilah peran penerbitan green bonds menjadi penting, agar PLN memiliki pendanaan memadai untuk membangun jaringan transmisi listrik EBT dan sekaligus memperluas bauran energi hijau nasional,” ujar Aryo saat menghadiri Energy Insights Forumbertajuk “The Energy We Share”, di Jakarta, Rabu (20/8) malam, berdasarkan siaran pers.

Ia mengatakan, Indonesia memiliki sumber daya energi bersih melimpah, namun tanpa skema finansial yang tepat, pemanfaatannya akan tertinggal dari lonjakan permintaan listrik. “Dengan green bonds, PLN bisa membiayai pembangunan jaringan transmisi listrik EBT,” jelasnya.

Green bonds merupakan obligasi khusus untuk proyek ramah lingkungan, dari pembangkit terbarukan, transmisi hijau, hingga sistem penyimpanan energi. Dana yang terkumpul hanya boleh dipakai untuk proyek hijau, sehingga menambah kepercayaan investor global yang kini semakin selektif.

Bagi Indonesia, instrumen ini bisa menopang kebutuhan pembangunan pembangkit dan transmisi senilai hampir Rp3.000 triliun serta meningkatkan kredibilitas transisi energi di mata dunia.

SEVP Hukum, Regulasi, dan Kepatuhan PLN, Nurlely Aman, mengamini usulan itu. “RUPTL 2025–2034 yang kami keluarkan menargetkan 76 persen tambahan kapasitas berasal dari energi terbarukan, termasuk energy storage. Namun, pertanyaannya bukan lagi apa yang harus dilakukan, tetapi bagaimana mengeksekusinya bersama-sama. PLN tidak bisa berjalan sendiri, peran aktif swasta mutlak diperlukan,” tegas Nurlely.

RUPTL terbaru menempatkan Independent Power Producer (IPP) sebagai penyumbang dana lebih dari 70 persen. Untuk mencapainya, PLN mengandalkan kolaborasi internasional serta skema pembiayaan hijau, termasuk transition financing yang tengah disiapkan.

Kebutuhan energi rendah emisi juga disorot CEO Bosowa Corporindo, Subhan Aksa. Menurutnya, konsumsi energi di Sulawesi Selatan tumbuh sembilan persen per tahun, sementara perubahan iklim memperbesar risiko krisis pasokan.

“Pada 2023, kekeringan ekstrem menyebabkan shortage besar pada PLTA sehingga beberapa industri harus dikorbankan. Renewable bukan sekadar beban, tetapi peluang. Namun tanpa dukungan regulasi dan pemerintah, swasta tidak akan berhasil. Kami ingin menjadi mitra pemerintah untuk pemerataan energi di Indonesia timur,” jelas Subhan.

Ia menekankan, regulasi yang mendukung akan membuat industri lebih percaya diri berinvestasi dalam solusi energi hijau. Bosowa sendiri mulai mengembangkan biomassa dan sumber energi terbarukan lain untuk mendukung transformasi.

Dari sisi digital, VP Operations DCI Indonesia, Lucas Adrian, mengingatkan lonjakan kebutuhan energi akibat pesatnya pertumbuhan pusat data.

“Pertumbuhan data center di Indonesia diperkirakan mencapai Compound Annual Growth Rate (CAGR) sekitar 20 persen per tahun dalam 4-5 tahun ke depan. Data center adalah konsumen listrik yang sangat besar. Kami harus menjaga standar service level agreement (SLA) terkait ketersediaan daya, suhu, hingga kelembapan. Itu artinya pasokan listrik harus selalu stabil,” jelas Lucas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement