Rabu 01 Nov 2017 00:29 WIB

BI Isyaratkan Ruang Pelonggaran Hanya untuk Makroprudensial

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo (kiri) didampingi Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara (kanan) memberi keterangan pers seusai rapat dewan gubernur di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/11).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo (kiri) didampingi Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara (kanan) memberi keterangan pers seusai rapat dewan gubernur di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Bank Indonesia (BI) mengisyaratkan ruang pelonggaran kebijakan di sisa tahun 2017 hanya terbuka untuk kebijakan makroprudensial. Ini mengingat penurunan melalui instrumen suku bunga acuan sudah "memadai" sejak 2016.

Maka dari itu, kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Selasa (31/10), BI saat ini sedang memfinalisasi kebijakan relaksasi tambahan untuk rasio pinjaman terhadap nilai aset (;oan to value/LTV) Kredit Pemilikan Rumah, dan juga perhitungan rasio pembiayaan terhadap pendanaan (financing to funding ratio/FFR) bagi perbankan.

"Pelonggaran moneter melalui suku bunga rasanya /room-nya sudah tidak ada, karena sudah di level lebih rendah dibanding 2012," ujar Mirza dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Sejak Desember 2015, BI tercatat delapan kali memangkas suku bunga acuan "Bank Indonesia Rate/BI Rate" yang kemudian berubah menjadi "7-Day Reverse Repo Rate" dengan total 200 basis poin atau dua persen.

Pada September 2016, BI juga melonggarkan kebijakan makroprudensial dengan menambah LTV sehingga uang muka KPR menjadi berkurang. BI menetapkan LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 85 persen, rumah kedua 80 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 75 persen.

Sehingga ketentuan uang muka (down payment/DP) untuk LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 15 persen, rumah kedua 20 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 25 persen.

Lebih lanjut, dalam diskusi itu, Mirza menjelaskan kecilnya peluang penurunan suku bunga acuan ke depan juga melihat tantangan ekonomi eksternal. Pemulihan ekonomi AS dan rencana kenaikan suku bunga acuan the Federal Reserve diperkirakan akan meningkatkan potensi kembalinya arus modal ke AS dari negara berkembang seperti Indonesia. Hal itu juga ditambah rencana Presiden AS Donald Trump yang berencana menurunkan tarif pajak.

Selain AS, proyeksi ekonomi Eropa dan Tiongkok juga lebih baik pada 2018. Sehingga ada kecenderungan akan terjadi kenaikan suku bunga acuan di AS, Eropa dan Tiongkok. Namun, lanjut Mirza, jika inflasi dan kinerja fiskal dari penyerapan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Indonesia berjalan baik, maka akan terus mendatangkan arus modal asing masuk.

"Tetapi kalau dijaga inflasi dan ekspor-impor sehat, APBN sehat, politik kondusif, maka arus modal masuk menurut kami bisa akan tetap bagus seperti saat ini," ujar dia.

BI memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,0-5,4 persen tahun ini, dengan pertumbuhan di kuartal III 2017 sebesar 5,1-5,2 persen dan kuartal IV 2017 sebesar 5,3-5,4 persen.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement