Ahad 29 Oct 2017 19:56 WIB

Aturan Baru Taksi Daring Dinilai Rentan Gugatan

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Agung Sasongko
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menerbitkan aturan baru taksi daring yaitu PM 108 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek mengantikan yang sebelumnya PM Nomor 26 Tahun 2017, Jumat (27/10).
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menerbitkan aturan baru taksi daring yaitu PM 108 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek mengantikan yang sebelumnya PM Nomor 26 Tahun 2017, Jumat (27/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah membuat aturan baru untuk taksi daring yaitu Peraturan Menteri (PM) Nomor 108 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Meski dikeluarkan untuk mengisi kekosongan payung hukum, namun aturan tersebut nyatanya masih memancing gugatan dari pengemudi taksi daring.

Anggota DPR Komisi V DPR Nizar Zahro tak heran jika aturan tersebut masih memancing pengemudi taksi daring untuk menyampaikan gugatan. "Kami khawatir nanti masih ada lagi perseorangan atau badan hukum yang kembali menggugat ke Mahkamah Agung (MA)," kata Nizar kepada Republika.co.id, Ahad (29/10).

 

Sebab, menurut Nizar PM Nomor 108 tak jauh berbeda dengan aturan sebelumnya yaitu PM Nomor 26 Tahun 2017. MA sebelumnya pada akhirnya mencabut 14 pasal dari PM Nomor 26 sehingga membuat kekosongan hukum bagi beroperasinya taksi daring.

 

Untuk itu, menurut Nizar aturan yang baru saat ini masih memicu adanya gugatan karena pemerintah tidak mengubah aturan tertinggi yang berkaitan dengan angkutan umum.

 

"Saya sudah sejak lama menyarankan semestinya Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diubah. Secara hirarki ini belum sesuai makanya akan ada gugatan lagi," ungkap Nizar.

 

Dia berpendapat selama UU Nomor 22 belum juga diubah maka meski Kemenhub mengeluarkan aturan masih belum cukup untuk taksi daring dan konvensional. Sebab, menurutnya UU Nomor 22 tersebut sama sekali belum mengayomi transportasi daring dan juga konvensional, bahkan juga untuk ojek daring yang saat ini sudah menjadi solusi bagi masyarakat luas.

 

Terlebih mengenai pajak dari transportasi daring yang menurutnya belum lengkap diatur. "Tarif transportasi daring saat ini memang murah karena belum bayar pajak. Kalau konvensional kena pajak karena ada badan hukum," ujar Nizar.

 

Ia juga menyarankan, taksi daring harus menambatkan izin dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab saat ini pembayaran saat menggunakan taksi daring juga bisa menggunakan uang elektronik yang tersedia pada layanan aplikasi. Namun hal tersebut nyatanya tidak masuk dalam PM Nomor 108 Tahun 2017.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement