REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia berupaya meningkatkan transaksi elektronik, pembayaran, dan peningkatan infrastruktur sistem pembayarannya. Namun, rencana Bank Indonesia untuk membebaskan perbankan menarik biaya tambahan atau top up uang elektronik menuai protes.
Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Junaidi Auly menilai, kebijakan tersebut tidak adil dan merugikan masyarakat. "Kebijakan ini kontraproduktif dengan gerakan nasional nontunai yang sudah dicanangkan, seharusnya insentif yang diberikan bukan disinsentif," ujar Junaidi, di kompleks DPR RI Senayan, Jakarta, Senin (20/9).
Ia mensinyalir rencana pengenaan biaya top up untuk uang elektronik dilakukan untuk mendukung upaya penggunaan uang elektronik di seluruh jalan tol. Di Indonesia terdapat dua jenis produk uang elektronik yaitu chips based yang berjumlah delapan layanan dan server based sembilan layanan.
Padahal menurut politikus PKS ini, perbankan sudah diuntungkan dengan sistem nontunai tersebut, apalagi ketika uang elektronik diwajibkan seluruh jalan tol. Junaidi menyatakan, peningkatan layanan seharusnya tidak menunggu ada pengenaan biaya.
Sebaliknya, pemberian Insentif seperti diskon saat masyarakat melakukan top up akan mendorong masyarakat beralih kepada uang elektronik. Selain itu fokus yang perlu dibenahi perbankan yaitu terkait kualitas fisik uang elektronik sampai dengan adanya layanan uang eletronik di daerah-daerah.
Menurutnya, Bank Indonesia harus mendengar semua pihak termasuk suara masyarakat. Supaya kebijakan dibuat tidak menimbulkan polemik di masyarakat. "Jika pun ada beban yang harus ditanggung, jangan semua beban ditimpakan kepada masyarakat," imbuhnya.