Rabu 18 Dec 2024 20:59 WIB

Alasan BI Pertahankan Suku Bunga 6 Persen: Demi Stabilitas Rupiah 

Saat ini pergerakan nilai tukar rupiah telah menembus angka Rp16.000 per dolar AS.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Saat ini pergerakan nilai tukar rupiah telah menembus angka Rp 16.000 per dolar AS. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Saat ini pergerakan nilai tukar rupiah telah menembus angka Rp 16.000 per dolar AS. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga sebesar 6 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Desember 2024. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa keputusan itu dilakukan demi menjaga stabilitas rupiah. 

Diketahui, saat ini pergerakan nilai tukar rupiah telah menembus angka Rp 16.000 per dolar AS. BI mencatat nilai tukar mata uang rupiah pada Desember 2024 (hingga 17 Desember 2024), mengalami pelemahan sebesar 1,37 persen (ptp) dari bulan sebelumnya. Mata Uang Garuda juga tercatat mengalami depresiasi 4,16 persen pada sepanjang 2024 dibandingkan akhir Desember 2023. 

Baca Juga

“Kami akan fokus dulu stabilkan rupiah. Tapi bukan berarti ruang penurunan suku bunga tidak ada, tetap akan terbuka. Timing is not right yet,” ujar Perry dalam konferensi pers RDG Bulan Desember 2024 yang digelar di Kompleks BI, Jakarta, Rabu (18/12/2024). 

Perry menerangkan bahwa langkah berfokus pada rupiah tersebut karena terjadinya kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang eskalasinya terus meningkat, terkait dengan arah kebijakan AS. Juga ruang penurunan FFR yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor global untuk memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS. 

Ia menilai ketidakpastian pasar keuangan global terpantau semakin meningkat, disertai dengan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Rencana kebijakan perdagangan di AS melalui kenaikan tarif impor, komoditas, dan cakupan negara yang lebih luas telah menyebabkan risiko peningkatan fragmentasi perdagangan dunia. Perkembangan ini yang disertai dengan eskalasi ketegangan geopolitik di banyak negara. 

Selain itu, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Penguatan mata uang dolar AS secara luas terus berlanjut disertai berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS. 

Hal itu meningkatkan tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia dan menahan aliran masuk modal asing ke negara berkembang. Perkembangan ekonomi global yang diikuti dengan tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global tersebut memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatifnya terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 

“Kami akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga dengan inflasi yang rendah, dan keinginan kami untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga fokus kami adalah tentu saja bagaimana dampaknya stabilitasi rupiah, sementara ini BI Rate ini kami pertahankan dulu,” tegasnya.

Seiring dengan keputusan mempertahankan suku bunga, Perry menjelaskan pihaknya melakukan sejumlah intervensi untuk mendongkrak kembali rupiah. "Diantaranya intervensi dengan meningkatkan transaksi spot dan domestic non deliverable forward (DNDF), dan menerbitkan Bank Indonesia Rupiah Securities (SRBI) dengan imbal hasil yang menarik," jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement