Rabu 18 Dec 2024 15:49 WIB

BI Catat Rupiah Terdepresiasi 4,16 Persen, Terdampak Ketidakpastian Pasar Keuangan Global

Pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh makin tingginya ketidakpastian global.

Rep: Eva Rianti  / Red: Gita Amanda
Konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Bulan Desember 2024 di Kompleks BI, Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Foto: Eva Rianti/Republika
Konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Bulan Desember 2024 di Kompleks BI, Jakarta, Rabu (18/12/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mencatatkan nilai tukar mata uang rupiah mengalami depresiasi lebih dari 4 persen sepanjang berjalannya tahun 2024. Hal itu terjadi seiring dengan kondisi ketidakpastian pasar keuangan global. 

“Pelemahan nilai tukar rupiah tetap terkendali, yang bila dibandingkan dengan level akhir Desember 2023 tercatat depresiasi sebesar 4,16 persen,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Desember 2024 pada Rabu (18/12/2024).

Baca Juga

Angka tersebut tercatat lebih kecil dibandingkan dengan pelemahan dolar Taiwan, Peso Filipina, dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi sebesar 5,58 persen, 5,94 persen, dan 10,47 persen. Adapun data pergerakan nilai tukar mata uang rupiah pada Desember 2024 (hingga 17 Desember 2024), mengalami pelemahan sebesar 1,37 persen (ptp) dari bulan sebelumnya.

“Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi oleh makin tingginya ketidakpastian global terutama terkait dengan arah kebijakan AS, ruang penurunan FFR yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor global untuk memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS,” jelasnya.

Perry menerangkan, ketidakpastian pasar keuangan global terpantau semakin meningkat, disertai dengan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Rencana kebijakan perdagangan di Amerika Serikat (AS) melalui kenaikan tarif impor, komoditas, dan cakupan negara yang lebih luas telah menyebabkan risiko peningkatan fragmentasi perdagangan dunia. Perkembangan ini yang disertai dengan eskalasi ketegangan geopolitik di banyak negara. 

Kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Penguatan mata uang dolar AS secara luas terus berlanjut disertai berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS. 

“Hal ini meningkatkan tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia dan menahan aliran masuk modal asing ke negara berkembang. Perkembangan ekonomi global yang diikuti dengan tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global tersebut memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatifnya terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement