Selasa 25 Jul 2017 18:19 WIB

Survei BPS Patahkan Mitos Anak Miskin tak Sekolah

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Dwi Murdaningsih
Siswa SDN Banaran Pulung melaksanakan kegiatan belajar mengajar di Masjid Desa Banaran yang menjadi sekolah sementara di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu (5/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Siswa SDN Banaran Pulung melaksanakan kegiatan belajar mengajar di Masjid Desa Banaran yang menjadi sekolah sementara di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu (5/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Unicef telah mematahkan mitos bahwa anak miskin tidak bersekolah. Faktanya, 90 persen anak miskin sekolah, meski 21 persen di antaranya menghadiri kelas yang tidak sesuai dengan usia mereka.

Fakta lain yang terungkap dalam laporan tersebut yakni lebih dari 70 persen anak miskin tinggal bersama kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan SD ke bawah. "Kalau orang tua berpendidikan rendah, umumnya anak-anaknya memiliki resiko lebih untuk jadi miskin," kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, ketika memaparkan realita kemiskinan anak Indonesia di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Selasa (25/7).

Kendati banyak kepala rumah tangga dari anak miskin berpendidikan rendah, laporan BPS dan Unicef ini menemukan bahwa hanya 8 persen dari mereka yang buta huruf. Kecuk memaparkan, saat ini ada sekitar 70 persen anak miskin hidup dalam keluarga besar yang anggotanya lebih dari lima orang.

"Jadi sekarang tidak berlaku lagi prinsip banyak anak banyak rezeki," kata dia.

Analisa mengenai kemiskinan anak tersebut berangkat dari data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada Maret 2016 lalu. Data Susenas tersebut menggambarkan profil kemiskinan secara umum di Indonesia. Kemudian, BPS dan Unicef melakukan analisis lebih jauh untuk menelusuri karakteristik kemiskinan anak. Secara total, diketahui ada 11 juta anak yang hidup dalam kemiskinan. Jumlah itu setara dengan 13,31 persen dari jumlah anak di Indonesia.

Perwakilan Unicef Indonesia Lauren Rumble mengatakan, data spesifik mengenai kemiskinan anak ini menjadi penting karena Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Suistanable Development Goals (SDGs) berbicara mengenai target pembangunan berkelanjutan untuk semua orang, termasuk anak. Karenanya, upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa dikatakan sukses jika masih ada orang, dalam hal ini anak, yang belum sejahtera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement