Rabu 19 Jul 2017 16:01 WIB

Populasi Anak Kos Yogya Sumbang Ketimpangan Ekonomi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Ketimpangan sosial  (Ilustrasi)
Ketimpangan sosial (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Tingginya populasi anak kos di Yogyakarta ternyata menyumbang angka ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi. Seperti diketahui, rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki posisi teratas se-Indonesia sebagai daerah dengan ketimpangan pengeluaran penduduk tertinggi.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengungkapkan, daya tarik Yogya sebagai pusat pendidikan memiliki korelasi langsung dengan tingginya rasio gini Yogya yang tercatat sebesar 0,432. Angka ini jauh di atas angka rasio gini nasional sebesar 0,393.

Sairi menjelaskan bahwa anak kos terhitung sebagai rumah tangga tunggal. Artinya, satu anak kos dihitung sebagai satu rumah tangga tunggal. Kelompok rumah tangga tunggal ini tetap dimasukkan dalam perhitungan rasio gini yang diukur dari pengeluaran penduduk.

Masuknya kelompok rumah tunggal dalam perhitungan rasio gini memberikan gambaran pengeluaran yang rendah. Sairi menyebutkan, pengeluaran oleh rumah tangga tunggal alias anak kos selalu lebih rendah dibanding rumah tangga biasa. Di saat yang bersamaan, pengeluaran oleh rumah tangga biasa bertambah tinggi seiring dengan pembangunan padat modal yang pesat di Yogya. Hal ini lah yang menambah jurang pengeluaran antara kelompok ekonomi atas dan bawah semakin tinggi.

"Anak kos makan di warung sederhana, pengeluaran untuk perumahan, sandang cenderung rendah. Dampaknya, jumlah mereka yang di lapisan pengeluaran rumah tangga kelas bawah bertambah banyak. Kesenjangan pengeluaran dengan mereka yang di lapisan atas bertambah lebar," kata Sairi, Rabu (19/7).

Meski ada peranan populasi anak kos terhadap tingginya angka ketimpangan ekonomi di Yogya, tetapi Sairi menilai ada alasan utama lain yang menjadikan Yogya sebagai 'kota paling timpang'. Ia menyebutkan, tingkat pengeluaran 20 persen penduduk lapisan teratas bergerak naik lebih cepat dibanding kelompok 40 persen penduduk terbawah. Menurutnya, fenomena ini tak lepas dari fenomena kultural.

Dalam perhitungan kemiskinan dan rasio gini yang didasarkan pada pengeluaran untuk konsumsi, nilai konsumsi rumah tangga lapisan 40 persen terbawah dan terutama 20 persen penduduk terbawah sangat rendah bahkan cenderung ekstrim rendah. "Ini perlu penelitian lebih mendalam apakah karena pengaruh pola budaya konsumsi makanan masyarakat miskin Yogya yang memang cenderung sederhana atau karena faktor-faktor lain," ujarnya.

Angka rasio gini Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan yang tertinggi se-Indonesia, yakni 0,432. Angka ini jauh di atas angka gini ratio nasional sebesar 0,393.  Yogya mengungguli delapan provinsi lain yang memiliki angka ketimpangan di atas gini ratio nasional. Kedelapan daerah tersebut adalah Gorontalo dengan angka ketimpangan 0,430, DKI Jakarta dengan 0,413, Sulawesi Selatan dengan 0,407, Jawa Barat dengan 0,403, Papua sebesar 0,397, Jawa Timur sebesar 0,396, Sulawesi Utara dengan gini ratio 0,396, dan Sulawesi Tenggara dengan 0,394.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement