REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa menilai peningkatan dana transfer ke daerah (TKD) belum diikuti dengan penurunan yang signifikan pada ketimpangan.
"Ketimpangan daerah masih menjadi masalah meski dana transfer ke daerah yang dilontarkan sudah sangat besar," ujar Riza dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, Senin (30/1/2023).
Dana transfer ke daerah tercatat meningkat beberapa tahun belakangan, yakni dari tahun 2020 yang sebesar Rp 692,7 triliun menjadi sebanyak Rp 723,48 triliun di tahun 2021 dan Rp 736,78 triliun pada tahun 2022.
Ia menyebutkan ketimpangan wilayah di Indonesia dapat dilihat dari capaian produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita antar provinsi yang menunjukkan kesenjangan yang masih tinggi, terutama antara Provinsi DKI Jakarta yang menjadi pusat ekonomi dan provinsi penghasil komoditas perkebunan seperti Riau dan Kalimantan.
Sementara PDRB per kapita terendah cenderung terlihat di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara.
Ketimpangan wilayah juga terlihat dari rasio gini provinsi yang masih cukup tinggi, dimana rasio gini tertinggi antara lain terlihat di DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Gorontalo Papua, dan Papua Barat.
Selain itu, Riza menyebutkan ketimpangan wilayah Indonesia juga terlihat dari Indeks Williamson Nasional yang berada di level 0,757 persen atau masih mendekati angka 1 di tahun 2020.
"Semakin mendekati angka satu itu berarti ketimpangan wilayah masih tinggi," jelasnya.