Kamis 29 Jun 2017 04:14 WIB

Meski Diminati, Penerbitan Sukuk Korporasi Masih Minim

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Sukuk (ilustrasi)
Foto: islamic-finance.ru
Sukuk (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penerbitan sukuk korporasi masih minim. Meski aset sukuk korporasi baru mencapai Rp 11,75 triliun, sukuk korporasi masih diminati oleh para investor.

Analis Senior Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada mengatakan, masih sedikitnya penerbitan sukuk korporasi dikarenakan skema sukuk yang harus menyertakan underlying asset. Sedangkan obligasi tidak perlu ada underlying asset.

"Minat sukuk lumayan tinggi. Terutama untuk korporasi karena sifatnya yang memang untuk jangka panjang," ujar Reza Priyambada kepada Republika, Rabu (28/6).

Menurut Reza, dengan skema yang memerlukan underlying asset tersebut, masih sedikit korporasi yang mau menerbitkan sukuk. Pada semester 2 tahun ini ia memperkirakan masih sedikit korporasi yang mau menerbitkan sukuk.

"Ada (penerbitan sukuk korporasi) tapi kemungkinan tidak banyak. Kalau yang obligasi bisa jadi banyk kalau kondisi market mendukung," tutur Reza.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset pasar modal syariah tercatat berkontribusi paling besar dalam aset keuangan syariah dengan nilai Rp 451,2 triliun, dari total seluruh aset keuangan syariah per Februari 2017 yang mencapai Rp 897,1 triliun.

Adapun aset sukuk korporasi mencapai Rp11,75 triliun, dan reksa dana syariah Rp 16,20 triliun. Nilai ini masih jauh lebih kecil dibandingkan aset sukuk negara yang mencapai Rp 423,29 triliun.

Untuk mendorong penerbitan surat utang ini, beberapa waktu lalu OJK merilis Sistem Informasi Perizinan dan Registrasi Terintegrasi (SPRINT) penerbitan obligasi dan sukuk untuk emiten bank menjadi hanya 22 hari dari sebelumnya memakan waktu hingga 105 hari.

Plt. Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Moch Hadi Santoso mengatakan dengan aturan ini dapat membantu perbankan syariah untuk mencari permodalan melalui penerbitan sukuk korporasi.

"Kalau diperpendek bagus, karena hampir semua perbankan syariah persoalannya modal. Untuk menjadi BUKU III kan modal harus Rp 5 triliun. Ini mempermudah untuk mencari modal dan naik ke BUKU III," ujar Moch Hadi Santoso.

Saat ini mayoritas bank syariah masih berada pada kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) II, sedangkan 1 bank di BUKU III. Dengan kemudahan ini, ia berharap bank syariah dapat lebih mudah mencari modal untuk naik kelas ke BUKU III.

Hadi mengungkapkan, sebelumnya saat bank yang dipimpinnya, BRISyariah menerbitkan sukuk, proses perizinannya memakan waktu hampir tiga bulan dan sangat tidak efisien. Jadi, aturan ini akan mempermudah bank- bank syariah menerbitkan sukuk demi mencari modal dan dapat naik kelas.

Dengan menjadi bank BUKU III, bank syariah akan mendapatkan berbagai kemudahan seperti menjadi bank kustodian dan ekspansi bisnis akan menjadi lebih terbuka. Selain itu, bank syariah juga akan lebih efisien dan dapat menekan biaya dana.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement