Jumat 19 May 2017 22:22 WIB

Konsistensi Peraturan Perpajakan Dibutuhkan untuk Dorong Investasi

Rep: Intan Pratiwi / Red: Satria K Yudha
Diskusi perpajakan membahas pentingnya konsisteni perpajakan dalam mendorong investasi yang digelar Share Communications, di Jakarta, Jumat (19/5).
Foto: Istimewa
Diskusi perpajakan membahas pentingnya konsisteni perpajakan dalam mendorong investasi yang digelar Share Communications, di Jakarta, Jumat (19/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta konsisten dalam membuat peraturan perpajakan. Sebab, peraturan perpajakan sangat mempengaruhi minat investor dalam menanamkan modalnya. 

Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), David Hamzah Damian, mengatakan, kepastian peraturan yang diterapkan dalam mengelola perpajakan akan mendorong investor memiliki perhitungan yang jelas atas investasi yang akan mereka ambil. Jika aturan perpajakan tumpang tindih dan banyak yang abu-abu, dapat memicu keraguan investor karena menimbulkan ketidakpastian. 

"Masalahnya ketika asumsi bisnis dan realisasinya beda, mereka akan mengalami kesulitan, misalkan ada beban pajak yang belum mereka asumsikan sehingga menyebabkan harus ada dana keluar," kata David dalam acara diskusi di Jakarta, Jumat (19/5). 

David juga menyoroti minimnya keterbukaan pengadilan pajak, sebagai jembatan untuk mengatasi ketidakpastian investasi dalam sengketa-sengketa perpajakan. Selama ini keputusan pengadilan pajak belum dapat menjadi rujukan untuk mencari kepastian hukum dalam pajak, akibat minimnya akses dalam publikasi amar putusan kasus sengketa pajak. 

"Kualitas putusan itu bisa diketahui ketika putusan itu bisa di akses oleh publik, di sini yang menjadi catatan, untuk sekretariat pengadilan pajak itu putusan pengadilan pajak yang dipublikasikan hanya risalah," ujarnya. 

DDTC mencatat ada sebanyak 12.486 permohonan di pengadilan pajak terkait gugatan dan banding. Di banding tahun 2015, sengeta pajak di pengadilan pajak naik sekitar 14 persen Sementara terkait putusan hanya sekitar 9.032 atau hanya naik 2,1 persen. 

Pakar hukum dari Universitas Indonesia Fitriani Sjarief menambahkan, pemerintah masih perlu menata aturan perundangan yang dijalankan di perpajakan sektor tambang.

Ia mencontohkan soal penerapan Surat Edaran (SE) Menteri Keuangan dalam mengatur soal pengenaan PPh bagi wajib pajak badan yang memiliki Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Fitriani menilai penerapan SE 44P/PJ/2014 soal penegasan tarif pajak PPh Badan sektor pertambangan tidaklah tepat. Bentuk SE mestinya menjadi norma bagi aturan internal bukan untuk mengatur publik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement