REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah memutuskan untuk menunda penerbitan paket kebijakan ekonomi ke-15 yang semestinya diumumkan Maret 2017. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, masih banyak peraturan yang belum rampung dibahas khususnya yang behubungan dengan koordinasi antarkementerian dan lembaga.
Hal tersebut yang membuatnya memutuskan menunda penerbitan paket kebijakan ekonomi yang akan fokus kepada tata niaga logistik tersebut. Meski begitu, pemerintah belum bisa memberikan target waktu kapan paket kebijakan terbaru akan dirilis. "Belum tuntas saja dari kementerian masing-masing. Saya belum mau umumkan," ujar Darmin.
Deputi Menteri Koordinator Bidang Industri dan Perdagangan Kemenko Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady menjelaskan, diperlukan koordinasi mendalam dengan kementerian dan lembaga terkait penerbitan paket kebijakan ekonomi. Menurut dia, salah satu penyebab molornya regulasi ini lantaran ia harus mengulangi lagi koordinasi secara bertahap dengan setiap kementerian dan lembaga.
Ia berharap dalam rapat yang akan dimulai lagi pekan ini, setiap kementerian dan lembaga tinggal melanjutkan kesepakatan yang sudah ada tanpa mengulangi lagi pembahasan soal substansi. "Kalau mereka masih tanyakan substansi, saya minta dibawa saja ke rapat kabinet," ujar Edy.
Apalagi, Edy melanjutkan, ada sedikit perbedaan kebijakan dalam menerbitkan regulasi. Bila dulu satu kebijakan ekonomi bisa terbit dengan ketetapan Inpres kemudian pelaksanaan, maka saat ini harus diawali dengan penjelasan substansi secara detil baru diikuti dengan regulasi. "Jadi agak repot mengejar peraturan keluar. Persoalannya logistik kita banyak sekali kepentingannya," katanya.
Pemerintah menargetkan agar seluruh ganjalan koordinasi antarkementerian dan lembaga bisa rampung dalam dua pekan. Namun, Edy merasa persoalan paket kebijakan ini harus diselesaikan secara matang karena menyangkut lini usaha yang cukup besar.
Ia menilai, buruknya sistem logistik di Indonesia selama ini lantaran belum dibuatnya konektivitas antarkementerian dan lembaga, termasuk juga instansi logistik. Hal ini membuat biaya logistik di Indonesia semakin mahal. "Belum lagi pelaku logistik kita yang cuma ikut-ikutan, bukan jadi leading tapi jadi agen," ujar Edy.
Belum lagi, kata dia, Indonesia belum memiliki peta transportasi barang yang lengkap. Hal itu ia yakini menjadi salah satu penyebab sulitnya distribusi barang. Pemerintah mencatat, biaya logistik di Indonesia mencapai lebih dari 40 persen dari harga ritel barang.
Sementara dari angka 40 persen tersebut, 70 persen ganjalannya ada di transportasi. "Ini yang bikin barang kita mahal dan menyebabkan inflasi, bagaimana mau ekspor kalau ongkos logistik tinggi," katanya.