Selasa 21 Feb 2017 14:38 WIB

Kemenkeu Sudah Antisipasi Kehilangan Penerimaan dari Freeport

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Bijih tambang yang dibawa dari tambang Grasberg menggunakan truk lalu dikirim ke pabrik pengolahan untuk dihancurkan menjadi pasir yang sangat halus.
Foto: Republika/Maspril Aries
Bijih tambang yang dibawa dari tambang Grasberg menggunakan truk lalu dikirim ke pabrik pengolahan untuk dihancurkan menjadi pasir yang sangat halus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik soal perubahan status kontrak antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia belum menunjukkan titik terang. Keengganan PTFI untuk mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diminta pemerintah membuat kegiatan ekspor konsentrat tembaga praktis terhenti sejak 12 Januari 2017 lalu.

Berhentinya ekspor konsentrat oleh Freeport, artinya negara berpotensi mengalami kehilangan penerimaan dari bea keluar ekspor yang sebelumnya dibayarkan Freeport. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyebutkan, merujuk pada penerimaan bea keluar tahun lalu, maka potensi penerimaan per bulan dari Freeport sebesar Rp 100 miliar. Kemenkeu mencatat, penerimaan negara dari bea keluar Freeport di tahun lalu mencapai Rp 1,23 triliun sepanjang 2016.

Sementara penerimaan negara dari pembayaran bea keluar ekspor oleh PT Amman Mineral Nusa Tenggara (Newmont) pada 2016 mencapai Rp 1,25 triliun. Bedanya, bila Freeport menolak mengubah status kontraknya, Amman lebih memilih patuh kepada ketentuan pemerintah.

Heru menegaskan, pemerintah sejak pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sudah mencoret penerimaan dari bea keluar ekspor mineral dan batu bara (minerba). Artinya, pemerintah sudah mengantisipasi berhentinya ekspor konsentrat minerba di tahun ini. Namun, Heru juga menyatakan bahwa dengan diberikannya IUPK kepada Freeport, semestinya penerimaan negara bisa bertambah dari adanya ekspor konsentrat.

"Kalau ekspor dilakukan, dari sisi Bea Cukai ya akan bertambah. Karena asumsi di 2017 tanpa ada ekspor minerba. Misal ekstrem tidak ada ekspor, tidak ada masalah," kata Heru di Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Selasa (21/2).

Heru menambahkan, saat ini pihaknya masih memonitor perkembangan soal persetujuan perubahan status kontrak Freeport. Apalagi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan waktu enam bulan kepada Freeport untuk melakukan perundingan. Pada prinsipnya, kata Heru, kantor kepabeanan akan melayani ekspor Freeport bila Surat Persetujuan Ekspor (SPE) sudah terbit. Namun hingga saat ini Freeport belum menyerahkan SPE yang menujukkan disepakatinya perubahan status ke IUPK.

Ia juga mengatakan bahwa pemerintah tetap berkoordinasi dengan kementerian lainnya untuk mengantisipasi hal ini. "Rata-rata sebulan sekitar Rp 100 miliar (penerimaan). Bisa dihitung secara sederhana. Asumsinya tak jauh beda dengan angka tahun lalu," ujar Heru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement