REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Statistik Nasional Inggris Raya melaporkan kenaikan tingkat inflasi sebesar 1,8 persen pada Januari 2017, lebih tinggi dari pada pada angka inflasi Desember 2016 yang 1,6 persen. Tingkat inflasi tersebut tercatat yang paling tinggi sejak Juni 2014.
Tingginya peningkatan inflasi di Inggris Raya merupakan dampak negatif dari kenaikan harga bahan bakar. Sejumlah pakar ekonomi memprediksi bahwa tekanan terhadap harga-harga juga akan terjadi sebagai efek dari Brexit yang memengaruhi nilai tukar poundsterling.
Dengan angka inflasi yang masih di bawah target Bank Inggris sebesar 2 persen, para pengambil kebijakan di negara Ratu Elizabeth tersebut diperkirakan tidak akan mengambil langkah agresif dengan segera menaikkan tingkat suku bunga. Namun begitu, para ekonom mengatakan bahwa angka inflasi berpotensi kembali meningkat di tahun ini dan akan melampaui target yang telah ditetapkan.
Sejak peristiwa referendum Inggris atau yang dikenal dengan Brexit, nilai tukar poundsterling memang merosot di banyak pasar international. Kondisi ini berimbas pada meningkatnya biaya-biaya kebutuhan pokok.
Sebuah data yang dipublikasikan bersamaan dengan laporan inflasi menunjukkan bahwa ongkos bahan bakar untuk kegiatan manufaktur meningkat paling signifikan dalam delapan tahun terakhir. Biaya tersebut meningkat 20,5 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di Januari tahun sebelumnya.
"Biaya untuk bahan baku dan barang jadi keduanya meningkat signifikan, terutama akibat dari harga bahan bakar yang mahal dan melemahnya poundsterling," ucap Kepala ONS bidang Inflasi, Mike Prestwood, seperti dikutip The Guardian, Rabu (15/2).