REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, perusahaan penyedia layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau biasa disebut Fintech telah meningkat tiga kali lipat dari 51 pada kuartal I 2016 menjadi 135 perusahaan pada kuartal IV 2016. Pertumbuhan yang cepat ini pun perlu diantisipasi dengan menerbitkan aturan terkait Fintech.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau Fintech Peer to Peer (P2P) Lending, diatur bahwa perusahan Fintech wajib mendaftarkan diri dalam jangka waktu enam bulan sejak aturan diterbitkan, atau maksimal semester pertama 2017.
"Pertumbuhan yang cepat ini harus diantisipasi untuk perlindungan konsumen terkait keamanan data dan pencegahan pencucian uang. Maka dari itu perusahaan Fintech harus segera mendaftar ke OJK," ujar Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA OJK, Imansyah di Kantor OJK, Jakarta, Selasa (10/1).
Perusahaan Fintech wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh izin untuk mendapatkan lisensi kepada OJK paling lama 1 tahun setelah terdaftar. Adapun beberapa syarat utama yang diatur dalam POJK tersebut antara lain harus memenuhi minimal permodalan sebesar Rp 1 miliar. Kemudian infrastuktur IT telah memenuhi standar yang ditentukan.
Imansyah mengatakan, setelah memenuhi berbagai macam aturan yang ditetapkan, dan telah mendapatkan lisensi, maka modal akan dinaikkan menjadi minimal Rp 2,5 miliar. "Kalau sudah penuhi semua syarat untuk perizinan bisa lebih cepat dari setahun untuk dapat lisensinya. Dan syarat modal bisa dinaikkan menjadi Rp 2,5 miliar," ujar Imansyah.
Untuk melindungi kepentingan konsumen, perusahaan Fintech wajib menyediakan escrow account dan virtual account di perbankan serta menempatkan pusat data di dalam negeri. Jumlah pinjaman juga dibatasi maksimal Rp 2 miliar dalam mata uang rupiah. Maksimal pinjaman ini untuk per debitur per perusahaan Fintech.
Menurut Imansyah, angka maksimal tersebut ditetapkan untuk meminimalkan risiko kredit macet dan juga stabilitas sistem keuangan. Sebab, pelaku usaha UMKM bisa jadi juga mengajukan pinjaman kredit ke perbankan atau malah ke perusahaan Fintech lainnya agar mendapatkan dana lebih dari Rp 2 miliar.
"Ini untuk menjaga stabilitas keuangan. Jangan sampai ini bubble. Karena di negara lain ada kejadian peminjamnya lari. Yang penting bisnisnya berkembang tapi jangan sampai nasabah kabur juga," tutur Imansyah.