Senin 19 Dec 2016 23:35 WIB

Kebijakan Impor Pangan Dinilai Merusak Pertanian Indonesia

Red: M Akbar
Presiden Patriot Pangan dari Jenderal Soedirman Center, Ir. Bugiakso
Foto: istimewa
Presiden Patriot Pangan dari Jenderal Soedirman Center, Ir. Bugiakso

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Patriot Pangan dari Jenderal Soedirman Center, Ir. Bugiakso, mengkritik kebijakan impor pangan yang sampai kini masih terus dilakukan oleh pemerintah. Ia menyatakan kebijakan impor pangan ini sesungguhnya menjadi penyebab rusaknya kaum tani dan pertanian Indonesia.

''Kebijakan impor pangan ini hanya menguntungkan para pelaku eksportir saja. Tetapi tidak bagi kaum petani Indonesia, yakni kelompok terbesar rakyat yang ada di negeri ini," ujarnya dalam dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id di Jakarta.

Pengalaman terintegrasi dalam jaringan perdagangan dunia, dalam bentuk penjajahan di masa lalu, atau era perdagangan bebas sekarang, kata Bugiakso, sesungguhnya hal yang sangat menyesakkan dada.

Ia menambahkan kebijakan impor segala bahan pangan itu memang benar bisa menjamin ketersediaan. Namun nyatanya, kata dia, yang terjadi justru menjauhkan negeri agraris ini dari kedaulatan pangan.

"Atas nama efisiensi, Indonesia kemudian terjebak, lalu hancur, dan belum sanggup lagi keluar dari jebakan perdagangan dan politik pangan dunia," ujarnya.

Sekilas, kata dia lagi, dengan perhitungan bahwa impor pangan lebih murah dari biaya produksi sendiri, terlihat seperti akan sangat menguntungkan. "Benar memang menguntungkan, tapi hanya menguntungkan para eksportir."

Bugiakso menilai awal mula kehancuran kaum tani dan pertanian Indonesia ketika terjadinya perubahan konsep menanam menjadi membeli. Lalu munculnya fakta, kata dia, dari bercocok tanam menjadi kuli yang akhirnya menjadi petani di Indonesia sama artinya menjadi miskin.

Dengan fakta yang ada tersebut, ia melihat banyak anak petani yang tidak mau lagi memendam cita-cita menjadi petani. Lalu muncullah logika berpikir bahwa cara untuk tidak terus terjerumus dalam kemiskinan adalah berhenti menjadi petani. "Adakah yang lebih pilu dari mendapati kenyataan seperti ini? Adakah yang lebih ironis dari kenyataan negeri agraris ini?" katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement