Rabu 30 Nov 2016 09:01 WIB

Perjuangan William dan Mimpi-Mimpi Astra

(dari kiri) Presiden Direktur PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Sudirman MR, Menperin Saleh Husin dan Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto berbincang dalam acara Seremoni pencapaian produksi 4 juta unit Daihatsu di Jakarta, Kamis (7/5)
Foto: kolom-biografi.blogspot.com
William Soeryadjaya

Yang menarik dari perjalanan Astra ke-60 tahun ini adalah diluncurkannya lini bisnis ketujuh pada Oktober lalu. Lini bisnis dimaksud adalah properti. Kendati sektor properti masih tertekan saat ini, namun Astra melihat lini bisnis ini masih sangat menjanjikan untuk ke depannya.

“Dengan rasa bangga dan penuh komitmen kami meluncurkan lini bisnis baru, yaitu bidang properti yang kami sebut dengan Astra Properti, menyusul bisnis infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan dan operator air bersih,” ujar Direktur PT Astra Internasional Prijono Sugiarto, dalam rilisnya.

Prijono menegaskan, studi terhadap bisnis properti Astra telah dimulai dengan riset mendalam tentang kebutuhan dan perkiraan perkembangan properti di Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Menurutnya, pembangunan gedung Menara Astra serta tiga menara apartemen yang berlokasi di lahan seluas 2,4 hektare di jalan Sudirman adalah tonggak sejarah bisnis properti Astra.

Beberapa tonggak sejarah lain yang merupakan perwujudan bisnis properti Astra ini ditandai dengan pendirian PT Astra Land Indonesia (ALI).  Di sisi lain, kinerja PT Astra Internasional juga diimbangi dengan beragam program CSR. Dari program penanaman pohon hingga pemberian sepatu kepada anak-anak di Sumba Barat.

Bulan lalu, Astra menyerahkan 1.500 pasang sepatu kepada para murid di Kabupaten sumba Barat, Nusa Tenggaran Timur. Penyerahan ini merupakan kelanjutan dari program 'Guruku Inspirasiku'. Sebelumnya Astra juga memberikan 6.000 pasang sepatu dan 1.081 tas untuk anak-anak di Kabupaten Nias yang diserahkan pada September lalu.

Perjuangan William

Enam dekade lalu, Astra hanyalah perusahaan yang tinggal di kantor sempit di Jalan Sabang, Jakarta. Bahkan kantor tersebut terkadang kebanjiran ketika hujan menyapa. Astra awalnya hanya memiliki karyawan empat orang. Namun hal ini tak menyurutkan semangat para pendiri Astra.  Visi misi William pun tampak sudah jauh ke depan. 

Hal itu terlihat dari pemakaian nama Astra Internasional. Dalam buku biografi William dijelaskan, penggunaan kata Astra awal mulanya diusulkan Kian Tie yang tak lain adalah adik kandung William. Menurut Kian Tie, Astra merupakan nama seorang Dewi Yunani, Astrea. Dalam mitologi Yunani kuno, ia adalah dewi terakhir yang terbang ke langit.  Dewi ini kemudian berubah bentuk menjadi bintang yang bersinar amat terang.

Namun Astra juga memiliki arti di konteks mitologi Hindu di India yang menyebut Astra sebagai salah satu senjata mematikan para dewa.  William melihat ada yang kurang dari nama tersebut. Ia lantas mengusulkan agar nama Astra ditambah International. 

Pertimbangannya, selain supaya membuat nama perusahaan lebih 'kece', namun juga menunjukkan semacam keinginan bisa berkiprah di internasional. Jadilah nama Astra International Inc (belakangan kata 'Inc' dihapus).

Belakangan Paul A. Lapian yang bergabung dengan Astra pada 1 Desember 1968 menyumbangkan sebuah motto yakni "Per aspera ad Astra" yang berarti dengan kerja keras, menggapai bintang-bintang di langit.

Tak berhenti di sana, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Oom Willem, sapaan akrab William, untuk membangun Astra. Tentunya dia tak mau terjerembab lagi pada kegagalan usaha-usaha sebelumnya. William pernah merasakan pahitnya tinggal di penjara. Ia ditahan di LP Banceuy dengan tuduhan menggelapkan pajak. Padahal, menurutnya, semua itu hanyalah intrik politik mereka yang ingin mengambil perusahaannya terdahulu, Sanggabuana.

Di penjara, William tinggal di sel sempit sepanjang 2,5 meter dan lebar 1,5 meter. Istri Oom, Lily, hanya bisa menangis melihat suaminya harus dibui.

Namun hal itu tak membuat William patah arang. Semangatnya untuk mengembangkan perusahaan tak pudar. Selepas keluar dari penjara, ia masih menghadapi tantangan lain yakni carut marutnya kondisi ekonomi. Pada Agustus 1959, nilai rupiah terdevaluasi hingga 75 persen. Semua pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 nilainya berkurang tinggal sepersepuluh.

Situasi mulai sedikit membaiknya setelah Astra pada 1962 terpilih sebagai salah satu pemasok lokal untuk proyek Jatiluhur, pusat pembangkit listrik tenaga air. terbesar di Jawa Barat. Proyek ini dibangun atas bantuan pemerintah Prancis.

Salah satu rintangan yang masih dihadapi adalah fluktuasi suku bunga kredit antara 10 sampai 15 persen. Hal ini membuat Astra harus gali lubang tutup lubang.  Proyek Jati Luhur selesai pada 26 Agustus 1967 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Astra kemudian bergerak di berbagai bisnis, dari pengiriman pasif posfat alumunium Bangka untuk penjernihan air, bohlam lampu listrik, fitting, serta ekspor kopra dan minyak goreng.  Angin mulai berubah setelah pemerintah Orde Baru mulai mencanangkan beragam proyek pembangunan.

Bagi William, ini merupakan peluang besar.  Salah satunya yakni pengembangan industri kendaraan. Astra pun mengontak Garuda Diesel yang merupakan agen resmi General Motor. General Motor sepakat untuk mengirimkan 800 truk Chevrolet. Astra lantas berpikir untuk mempunyai pabrik perakitan. Salah satu yang diincar oleh Astra adalah PN Gaya Motor, bekas pabrik General Motor.

Dengan modal nekat William membeli  PN Gaya Motor melalui pinjaman dari luar negeri. Ia kembali berjudi, mengingat bunga pinjaman cukup besar yakni 5-10 persen per bulan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement