REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengevaluasi tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat berjadwal. Hal ini menyusul usulan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia.
"Terkait dengan tarif atau tiket, memang pemerintah sedang evaluasi," kata Sekretaris Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Sigit Hani Hadiyanto di sela Indonesia AERO Summit 2024 di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Sigit menyampaikan bahwa kajian itu masih dilakukan seiring dengan usulan dari maskapai penerbangan melalui Indonesia National Air Carrier Association (INACA). Meski begitu, Sigit tidak menjelaskan lebih mendalam terkait evaluasi tarif batas atas dan bawah tersebut.
"Memang sekarang, berlaku tarif batas atas dan bawah. Namun, aspirasi INACA, nanti akan menjadi konsiderasi," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja berharap Kemenhub dapat memutuskan agar aturan harga tiket pesawat tak lagi mengacu pada tarif batas atas (TBA), tetapi sesuai dengan mekanisme pasar.
"Memang kami berharap bahwa tarif tiket itu diserahkan ke mekanisme masyarakat," ujar Denon.
Meski begitu, Denon mengaku bahwa pihaknya memahami bahwa pemerintah menetapkan TBA dan TBB adalah demi keterjangkauan dan melindungi masyarakat sebagai konsumen. Selain itu, tarif batas atas dan batas bawah diberlakukan agar tidak terjadi praktik jual rugi (predatory pricing).
"Jadi, di situlah fungsinya government sehingga keseimbangan ekonomi ini bisa tetap terjaga dan iklim usaha tetap sehat," ucapnya.
Denon menambahkan, pemerintah juga sudah menerima usulan INACA terkait revisi tarif batas atas dan batas bawah.
"Kita direspons positif juga oleh Kemenhub. Kita tunggu jawaban kementerian, sehingga tarif ini bisa bervariasi solusinya, tidak digeneralisir. Ini mungkin yang sedang kita upayakan," kata Denon.
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra berharap pemerintah dapat meninjau ulang tarif batas atas (TBA) tiket pesawat sejalan dengan perubahan kondisi eksternal lima tahun terakhir.
Irfan mengatakan, nilai tukar atau kurs (exchange rate) serta harga avtur yang fluktuatif menjadi tantangan tersendiri karena pengaruh yang besar terhadap biaya (cost).
"Oleh sebab itu, kita diskusi agar TBA dikaji. Artinya jangan TBA selama lima tahun tidak naik karena kurs dan harga avtur selama lima tahun terakhir juga berubah," katanya.
Apabila tarif batas atas tiket pesawat tidak kunjung berubah atau tidak naik sejak ditetapkan 2019, Irfan khawatir semua maskapai akan menghadapi permasalahan yang serupa.
"Usulan kita lebih fleksibel terhadap kondisi eksternal. Exchange rate maupun harga avtur kan kita tidak bisa kontrol. Kita juga tidak bisa minta Pertamina untuk terus-terusan kasih diskon, bukan begitu caranya kan," kata dia.