Kamis 24 Nov 2016 17:57 WIB

Potensi Pembiayaan Infrastruktur Lewat Saham Syariah Sangat Besar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Saham Syariah (ilustrasi)
Foto: ecosyariah.blogspot.com
Saham Syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) Nicky Hogan mengatakan, potensi pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan saham syariah sangat besar. Sebab, saham infrastruktur aktif dintransaksikan dan proyeksi ketersediaan dana di pasar saham sangat besar yang berasal dari investor institusi seperti asuransi, dana pensiun, serta program amnesti pajak.

"Perusahaan infrastruktur yang membutuhkan pembiayaan dengan menerbitkan saham, dananya tersedia di pasar," ujar Nicky di Jakarta, Kamis (24/11).

Nicky menjelaskan, diperkiakan potensi investor institusi dari relokasi aset dan rebalancing untuk dana pensiun sebesar Rp 54 triliun dan asuransi sebesar Rp 85 triliun. Sementara dari program tax amnesty sebesar Rp 55 triliun, dengan asumsi 5 persen dari deklarasi dalam negeri kas dan setara kas yang berkisar Rp 1,95 triliun per 30 September 2016.

Sementara potensi dari pertumbuhan reksa dana saham sekitar Rp 18 triliun. "Dengan demikian, potensi dana infrastruktur yang didapatkan dari investor institusi diperkirakan bisa lebih dari Rp 212 triliun. Tapi semua angka ini adalah perkiraan," kata Nicky.

Tantangan yang harus dicermati di masa mendatang adalah kebutuhan pembangunan infrastruktur akan semakin besar sehingga perusahaan dapat didorong untuk menerbitkan sukuk. Sementara beberapa saham infrastruktur keluar dari DES disebabkan utang berbasis bunga mencapai lebih dari 45 persen terhadap total aset.

BEI mencatat tidak semua saham infrastruktur merupakan saham syariah karena ada kriteria rasio laporan keuangan yang tidak memenuhi prinsip syariah. Komposisi saham infrastruktur yakni non syariah sebesar 42 persen sedangkan saham syariah sebesar 58 persen.

Sementara jumlah saham syariah yakni sebanyak 31 saham dan non syariah sebanyak 22 saham. Dari keseluruhan jumlah saham syariah, sektor infrastruktur masih sebesar 10 persen dan yang paling besar adalah di sektor perdagangan, jasa dan investasi.

Sementara itu, Direktur Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan Suminto mengatakan, pemerintah telah memiliki project financing sukuk yang diterbitkan untuk secara langsung membiayai proyek pemerintah khususnya infratruktur dan proyek strategis lainnya. Proyek tidak ditujukan untuk menghasilkan pendapatan sehingga pembayaran pokok dan imbalan tidak berasal dari pendapatan proyek tersebut, namun dari penerimaan umum pemerintah dan dialokasikan setiap tahun pada APBN. Project financing sukuk telah dikeluarkan sejak 2013 dan terus mengalami perkembangan.

Pada 2016 tercatat bahwa pemerintah telah menerbitkan project financing sukuk mencapai Rp 13,67 triliun. Jumlah ini untuk membangun infrastruktur dan terbagi di sejumlah kementerian diantaranya di Kementerian Perhubungan sebesar Rp 4,983 triliun untuk pembangunan jalur kereta api elevated dan double track (Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra).

Kemudian, di Kementerian PUPR sebesar Rp 7,266 triliun yang digunakan untuk pembangunan jalan, flyover, underpass, terowongan, dan jembatan di Sumatera, Jawa, NTB, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sementara itu, di Kementerian Agama terdapat Rp 1,468 triliun diantaranya digunakan untuk revitalisasi dan pengembangan asrama haji di tujuh embarkasi. Pada 2017, project financing sukuk diperkirakan akan mencapai Rp 16,76 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement