REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv memperkirakan negosiasi dengan Google untuk menarik pajak dari perusahaan teknologi informasi asal AS tersebut selesai sebelum akhir tahun 2016.
"Secepatnya sebelum akhir tahun ini. Kita tidak mau negosiasi lama-lama. Diusahakan nanti juga masuk (untuk penerimaan) dalam tahun pajak ini," kata Haniv di Jakarta, Rabu (23/11).
Haniv mengatakan bahwa negosiasi berjalan dengan positif karena DJP menawarkan adanya "tax settlement" atau merupakan angka kesepakatan pajak yang harus dibayar Google, bukan nilai dari keseluruhan pajak tertunggak.
"Perkembangannya positif meski belum mencapai kesepakatan yang diinginkan. Akan tetapi, ada 'tax settlement', yang berbeda dengan pemeriksaan biasa. Jadi, total pajak tidak dihitung secara perinci, tetapi hanya jumlah pembayaran pajak," ujarnya.
Namun, bila tawaran "tax settlement" tidak direspons Google dalam negosiasi tersebut, DJP akan melakukan pemeriksaan penuh terhadap laporan keuangan dengan risiko pajak beserta denda yang dibayarkan akan lebih banyak.
"Kalau kita full investigation, angkanya Rp 5,5 triliun, itu berasal dari prediksi pajak Rp 1 triliun dan denda Rp 4 triliun karena denda 400 persen. Akan tetapi, kalau tax settlement, kita lupakan jumlah dari sanksi," kata Haniv.
Menurut Haniv, saat ini pemeriksaan terhadap Google sedang berhenti karena negosiasi masih berjalan dan perusahaan teknologi informasi asal AS tersebut juga memperlihatkan adanya perubahan sikap yang melunak. "Pihak Google berubah sikapnya, jadi kita menerima ini dengan baik karena kita saling membutuhkan. Negara membutuhkan Google dan Google membutuhkan pasar kita karena pengguna internet kita tinggi hingga 120 juta. Ini pasar luar biasa bagi Google," katanya.
Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT, padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.