REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perum Bulog siap menjadi bagian dari agenda pemerintah menurunkan harga beras nasional. Dalam pelaksanaannya, Bulog menilai tidak terganggu dengan belum ditetapkannya batas harga tertinggi beras oleh pemerintah.
"Kita sudah ada batas harga terendah berdasarkan Inpres no 5/2015, itu cukup menjadi acuan kita bekerja menjaga harga," kata Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, di Jakarta, Jumat (12/8).
Batas harga tertinggi, kata dia, merupakan langkah paling ideal dalam menyatakan harga suatu komoditas mahal, tapi berlaku bagi negara dengan penduduk yang tidak terlalu banyak. Malaysia dan Singapura, misalnya, dapat efektif menerapkan hal tersebut karena konsumennya yang hampir seragam.
Namun untuk negara Indonesia, batas harga tertinggi harus berhadapan dengan jenis-jenis beras yang beragam, baik dari kualitas, cara tanam maupun keberagaman selera konsumennya. "Batas bawah jelas agar harga beras tidak jatuh, yakni Rp 7.300 per kilogram, tapi batas atas relatif," ujar dia.
Menurutnya, kultur konsumen beras beragam. Ada kelompok konsumen yang tidak bermasalah dengan harga beras tertentu dan menyesuaikan selera masing-masing, tapi jangan sampai petani dirugikan dengan kejatuhan harga.
Maka dari itu, Bulog menyasar pembenahan distribusi guna memberhasilkan keinginan Presiden menurunkan harga beras. Dengan atau tanpa keberadaan Badan Ketahanan Pangan, Bulog tengah fokus memiliki jalur distribusi alternatif agar peredaran beras berada dalam kontrol pemerintah.
Saat ini, ia menilai Bulog terkendala model bisnis beras yang telah bertahun-tahun berdasarkan mekanisme pasar yang bebas. Pasar memiliki margin yang tidak mau diganggu pemerintah. Di sisi lain, pedagang juga masih memiliki keraguan kepada pemerintah untuk menjangkau pasokan beras, sehingga dinilai rentan penimbunan.
"Ada model bisnis yang harus saya koreksi, Bulog belum punya jalur distribusi sendiri, lebih ke mengikuti jalur distribusi yang ada di pasar, ini yang harus kita ubah," katanya.