Kamis 11 Aug 2016 18:57 WIB

Wajib Pajak Masih Wait and See, Sebabkan Dana Repatriasi Minim

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pengamat Pajak, Darussalam (kiri) serta Direktur Direktorat Pengawas Bank 1 OJK, Defri Andri (kanan) menjadi pembicara dalam seminar Tax Amnesty dan Upaya Mendorong Pertumbuhan EKonomi di Jakarta, Kamis (11/8). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengamat Pajak, Darussalam (kiri) serta Direktur Direktorat Pengawas Bank 1 OJK, Defri Andri (kanan) menjadi pembicara dalam seminar Tax Amnesty dan Upaya Mendorong Pertumbuhan EKonomi di Jakarta, Kamis (11/8). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minimnya penerimaan pajak dari kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) pada saat ini dinilai karena masih banyak pemilik dana yang melakukan wait and see. Diperkirakan dana repatriasi akan banyak mengalir masuk pada akhir periode kebijakan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan, uang tebusan amnesti pajak saat ini mencapai Rp 331,40 miliar dengan jumlah harta mencapai Rp 16,1 triliun. Di mana komposisinya yaitu repatriasi sebesar Rp 759 miliar, deklarasi luar negeri Rp 1,87 triliun dan deklarasi dalam negeri Rp 13,4 triliun. "Wajib pajak masih wait and see, karakteristik wajib pajak di Indonesia bertanya dulu (ke orang lain), sudah ikut belum? Ini seperti sunset policy," kata Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia, Darussalam dalam diskusi Tax Amnesty dan Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Jakarta, Kamis (11/8).

Dengan adanya sikap tersebut, Darussalam menyakini jika para wajib pajak akan mulai berdatangan ke kantor pajak pada penghujung periode pertama dengan tebusan 2 persen untuk repatriasi dan 4 persen deklarasi. "Mereka akan berbondong-bondong di akhir periode, saya yakin mulai ramai pada September 2016. Dari sanalah kita bisa meramal dan prediksi seberapa besar penerimaan sampai akhir tahun," jelas Darussalam.

Selain untuk menambah penerimaan negara dari pajak, kebijakan ini juga merupakan transisi menuju transparansi data wajib pajak di perbankan. Apalagi 

tidak lama lagi akan diberlakukan Automatic Exchange of Information (AEOI) pada 2018. "Sebelum benar-benar terjadi transparansi data untuk perpajakan, maka suatu negara disarankan melakukan tax amnesty. Karena kalau tidak, akan gaduh, dan akan sedemikian banyak yang tertangkap," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Defri Andri mengatakan, wajib pajak tak perlu khawatir untuk menginvestasikan dana miliknya. Sebab, produk instrumen yang ditawarkan perbankan merupakan produk yang aman dan terjamin. 

OJK juga mengimbau, perbankan jangan hanya menjual produk, tapi juga harus melihat mana nasabah yang potensial, agar tertarik dengan program tax amnesty, termasuk kompetitor di luar negeri.  "Kita nggak kalah soal keamanan. Nanti pasar akan meng-create sendiri produk-produknya. Saya yakin peraturan OJK soal manajemen risiko bisa mengakomodasi produk bank nantinya, meskipun setelah 1-3 tahun dana itu di-hold," tuturnya.

Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, pihaknya lanjut Defri, akan terdorong dengan adanya program tax amnesty. "Kira-kira di kuartal III dan IV dana dari tax amnesty baru terlihat dan terserap dananya. Berharap di 2017 sudah terlihat lagi penerapannya di sektor riil," ujarnya.

Pemerintah optimistis program amnesti pajak (tax amnesty) yang mulai berlaku 18 Juli lalu akan berhasil. Program tersebut menjadi tumpuan pendapatan negara di tengah merosotnya penerimaan pajak, terutama untuk menjaga agar defisit anggaran tidak melebihi batas 3 persen. Selain itu, aliran dana repatriasi berpotensi menggerakkan perekonomian nasional.

Optimisme ini berdasarkan estimasi pemerintah, dana sebesar Rp 1.000 triliun atau setara dengan 75 miliar dolar AS dapat direpatriasi dalam sembilan bulan ke depan. Selain itu akan ada tambahan pendapatan pajak sebesar Rp 165 triliun atau 12,5 miliar dolar AS. Kalau memang tercapai, defisit anggaran pemerintah akan bisa bertahan di bawah 3 persen dari PDB.

Pasar finansial merespons positif pengumuman amnesti pajak. Salah satu indikasinya adalah terus jatuhnya imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia. DBS Group Research mencatat, sejak awal 2016 rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah turun hingga 170 bps. Memang faktor eksternal dari rendahnya suku bunga di dunia dan ekspektasi pasar tentang kemungkinan penurunan suku bunga Bank Indonesia membuat obligasi pemerintah sangat menarik. Namun, para pelaku pasar tampaknya “buy into” optimisme pemerintah ini. Hal itu karena jumlah Rp 1.000 triliun itu setara dengan 150 persen dari jumlah investasi investor asing di obligasi pemerintah. Namun pada saat bersamaan, ada kekhawatiran asumsi pemerintah yang terlalu optimistis akan menemui hambatan.

Senada dengan yang dituturkan Darussalam, berdasarkan riset DBS Group, ada beberapa hambatan dalam menjalankan kebijakan ini. Pertama, estimasi nilai aset yang belum dilaporkan sangat bervariasi.

Kedua, kalaupun jumlah sebenarnya sama dengan estimasi pemerintah, sebagian di pasar ragu bahwa jumlah dana yang akan direpatriasi bisa mencapai estimasi pemerintah. Hal ini lantaran Rp 1.000 triliun itu sama dengan 70 persen dari total cadangan devisa Indonesia, atau sama dengan 60 persen dari jumlah outstanding obligasi pemerintah saat ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement