REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penerimaan pajak negara pada Januari 2025 tercatat mengalami kejatuhan dan mencapai angka terendah dalam lima tahun terakhir. Sementara penerimaan kepabean dan cukai masih tercatat mengalami peningkatan pada periode tersebut. Namun, ekonom menilai penerimaan dari kepabean dan cukai tidak cukup kuat dalam menopang fiskal.
Diketahui, Kementerian Keuangan RI mencatat angka penerimaan pajak pada Januari 2025 sebesar Rp 88,89 triliun, atau turun 41,86 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024 sebesar Rp 152,89 triliun. Di sisi lain, realisasi penerimaan kepabean dan cukai pada Januari 2025 mencapai Rp 26,69 triliun, meningkat 14,75 persen dibandingkan Januari 2024 senilai Rp 22,91 triliun.
“Memang penerimaan bea dan cukai Januari 2024 naik, namun proporsi bea cukai hanya sekitar 15 persen dari total perpajakan nasional, artinya meski sektor ini tumbuh, tidak akan mampu menutup lubang yang ditinggalkan sektor pajak yang anjlok,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, Rabu (12/3/2025).
Achmad menjelaskan bahwa rasio pajak Indonesia masih rendah, yakni sekitar 10,4 persen dari produk domestik bruto (PDB), itu menunjukkan ketergantungan pada sektor pajak penghasilan, PPN, dan sektor domestik sangat tinggi. Sehingga, mau tidak mau, pemerintah perlu melakukan langkah koreksi terhadap perkembangan fiskal baru-baru ini.
Permasalahan utama yang disorot adalah mengenai Cortex. Sistem administrasi Cortex yang terkendala dinilai menjadi penyebab penerimaan pajak negara menjadi terganggu, yang lantas akan langsung menekan likuiditas APBN.
Achmad menilai penerimaan negara bisa mengalami shortfall mencapai Rp 300 triliun hingga Rp 400 triliun. Bahkan kajian internalnya memprediksi, bila tidak ada langkah koreksi fiskal yang konkret dan sistemik dari pemerintah, defisit APBN 2025 bisa mendekati Rp 800 triliun, atau sekitar 3 persen dari PDB.
“Berdasarkan prediksi kami pada akhir Januari 2025 lalu, potensi defisit hingga Rp 800 triliun atau hampir 3 persen PDB adalah skenario yang realistis jika situasi ini terus berlanjut tanpa solusi cepat,” ungkapnya.
Achmad melanjutkan, dengan janji kampanye Prabowo-Gibran yang mengandalkan belanja tinggi, terutama belanja sosial dan pangan, ruang fiskal untuk pemotongan belanja menjadi semakin terbatas.
Sementara di sisi lain, utang baru untuk menutup defisit akan menjadi lebih mahal, karena pasar obligasi sudah mulai bereaksi negatif melihat penerimaan negara yang anjlok. Yield obligasi negara (SUN) sudah mulai naik, menandakan pasar menuntut premi risiko lebih tinggi untuk utang pemerintah, akibat kekhawatiran fiskal.
Achmad menyebut, jika pemerintah terus memaksakan belanja tanpa disertai penerimaan yang memadai, maka risiko pembengkakan utang akan meningkat. Itu memperbesar beban bunga utang yang sudah melebihi Rp 500 triliun per tahun.
“Besok pagi ketika APBN KiTa Edisi Februari 2025 dirilis, publik seharusnya mendapatkan keterbukaan yang cukup terutama soal ancaman fiskal yang dihadapi Indonesia saat ini,” tutupnya.