REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB) masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen pada 2016 dan 5,5 persen pada 2017, meskipun masih terdapat beberapa risiko.
Keterangan pers ADB, Senin (18/7), menyatakan risiko yang masih menjadi tantangan perekonomian Indonesia adalah realisasi pendapatan yang lebih kecil dari proyeksi semula sehingga dapat menghambat rencana pemerintah untuk membangun infrastruktur. Selain itu, tantangan domestik lainnya adalah pertumbuhan kredit yang terus melemah dan berpotensi memperlambat pulihnya investasi swasta domestik.
Sedangkan, risiko eksternal yang utama adalah pertumbuhan global yang lebih lemah dari prakiraan awal dan meningginya gejolak pasar finansial dunia.
Proyeksi ADB tersebut muncul berdasarkan pencapaian perekonomian Indonesia yang tumbuh 4,9 persen pada kuartal pertama 2016, didukung oleh pengeluaran rumah tangga dan investasi yang lebih kuat. Laju inflasi diperkirakan rendah berkat stabilnya harga bahan bakar, gas cair, dan tarif listrik. Nilai tukar rupiah yang relatif stabil turut mendukung kinerja konsumsi domestik. Namun, kinerja belanja pemerintah tumbuh 2,9 persen, sesuai dengan tren rendahnya belanja pada triwulan pertama.
Pengeluaran rumah tangga diproyeksikan akan sedikit naik karena inflasi yang moderat, nilai rupiah yang relatif stabil, dan diturunkannya harga energi pada bulan April. Kenaikan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang telah diumumkan dan gaji ke-14 untuk pegawai negeri juga diperkirakan akan meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Secara keseluruhan, laporan ADB menyatakan pertumbuhan perekonomian negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik masih solid karena kinerja yang baik di wilayah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Pertumbuhan di berbagai kawasan tersebut membantu menahan penurunan perekonomian yang terjadi di Amerika Serikat dan guncangan pasar jangka pendek akibat keputusan rakyat Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit).
Meskipun demikian, ADB memperkirakan perekonomian negara-negara berkembang Asia hanya akan tumbuh 5,6 persen pada 2016, turun dari proyeksi sebelumnya 5,7 persen. Untuk 2017, belum ada perubahan proyeksi pertumbuhan yaitu masih 5,7 persen.
Ekonom Kepala ADB Shang-Jin Wei mengatakan Brexit memiliki pengaruh terhadap mata uang dan pasar modal negara berkembang di Asia, namun dampaknya terhadap ekonomi riil dalam jangka pendek diperkirakan kecil. "Namun, mengingat lemahnya prospek pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri utama, para pembuat kebijakan harus tetap waspada dan tanggap terhadap potensi guncangan eksternal, demi memastikan pertumbuhan di kawasan ini tetap kuat," katanya.