REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengakui produk reksa dana syariah di Indonesia masih belum berkembang secara optimal.
"Memang ada keterbatasan dalam perkembangannya (reksa dana syariah), mungkin karena masyarakat belum terlalu paham ada produk ini," ujar Nurhaida di Jakarta, Rabu (15/6).
Menurut Nurhaida, reksa dana syariah ini seharusnya dapat menjadi alternatif produk investasi yang menarik bagi para investor. Ia menyebutkan di negara-negara lain seperti Malaysia dan Inggris, produk syariahnya justru berkembang dengan pesat.
"Hitungan kita di Indonesia sebenarnya potensinya besar sekali, tapi barangkali ini belum terlalu tersosialisasi dan dipahami. Barangkali ada pemikiran prinsip-prinsip syariahnya sudah terpenuhi atau belum," katanya.
Padahal dalam pengaturan produk syariah sendiri, lanjutnya, sudah dibahas dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga sebetulnya tidak ada masalah. Berdasarkan data OJK pada April 2016 terdapat 101 reksa dana syariah dengan jumlah nilai aktiva bersih sebesar Rp 9,3 triliun, dimana pada 2011 jumlahnya hanya mencapai 50 reksa dana dengan nilai aktiva bersih sebesar Rp 5,5 triliun.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi bersaing yang kuat untuk dapat menjadi hub perdagangan produk keuangan syariah termasuk reksa dana syariah global. Produk reksa dana syariah sendiri telah ada sejak tahun 1997, namun hingga saat ini nilai aktiva bersih bagi reksa dana syariah di Indonesia baru mencapai 7 persen dari Malaysia.