Jumat 27 May 2016 14:54 WIB

BI Kaji Disinsentif untuk Bank yang Malas Salurkan Kredit

Rep: C37/ Red: Nur Aini
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia berencana akan memberikan disinsentif kepada bank yang cenderung enggan melakukan intermediasi. Keengganan bank untuk melakukan intermediasi ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi.

Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudensial Bank Indonesia (BI), Yati Kurniati menjelaskan, di tengah perlambatan ekonomi ini, kalangan perbankan cenderung masih mengambil sikap hati-hati dalam memberikan penyaluran kredit. Hal ini untuk menghindari risiko kredit bermasalah.

"Mereka masih sangat hati-hati untuk memberikan kredit ke nasabah baru. Karena belum tahu perilaku. Ini untuk menghindari NPL (Nonperforming Loan/kredit bermasalah) lebih tinggi lagi," ujar Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudensial Bank Indonesia (BI), Yati Kurniati di Gedung Bank Indonesia, Jumat (27/5).

Hingga akhir kuartal I 2016 pertumbuhan kredit perbankan hanya sebesar 8,71 persen. Hal itu diperburuk dengan adanya peningkatan rasio kredit bermasalah pada akhir kuartal I 2016 yang naik menjadi 2,83 persen.  "Data itu menunjukan korelasi antara pertumbuhan NPL meningkat dan pertumbuhan kredit yang menurun," ujarnya.

Yati mengungkapkan, berdasarkan survei BI, ditemukan bahwa perbankan lebih cenderung menyalurkan kredit hanya kepada nasabah yang sudah mendapatkan kredit saja, baik dari banknya atau pun bank lain. Selain itu, dari sisi demand menurun karena perekonomian masih lambat.

"Jadi dunia usaha masih memikirkan untuk survival atau menggunakan dana sendiri," katanya.

Untuk meningkatkan pertumbuhan kredit ini, kata Yati, pemerintah telah menstimulasi, salah satunya dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di sisi lain, BI melihat banyak bank yang laba dan likuiditas atau indikator-indikator perbankan lainnya bagus, tetapi rasio kredit terhadap pendanaan atau Loan to Deposit Ratio/LDR berada di bawah batas ketentuan yakni 78 persen-92 persen. Padahal, BI telah menaikkan LDR menjadi 94 persen. Bank yang demikian menurut dia tergolong malas melakukan intermediasi.

"Mereka harusnya mendorong kredit untuk fungsi intermediasi, bukan menumpuk pendapatan dari fee based income. Kami akan kaji disinsentif terhadap bank yang demikian," ujarnya.

Yati mengungkapkan, bank-bank tersebut berasal dari kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) III dan II. Bentuk disinsentif tersebut masih dalam kajian. Ia menegaskan jika hal ini dilakukan agar perbankan mendorong kreditnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement