REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan tax amnesty (pengampunan pajak) masih terus berlangsung lamban di Badan Legislasi, seolah cenderung terlihat sangat berhati-hati agar aturan itu kembali tak menuai trauma dan kegagalan yang sama, seperti pada 1964 dan 1984 silam.
Ketua Umum Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jaya, Rama Datau mengaku sangat mendukung pemberlakuan tax amnesty. Hanya saja ia menekankan kalau aturan itu dibuat jangan hanya mengistimewakan pemulangan dana (repatriasi) yang dari luar negeri semata lantaran besarnya potensi dana masuk. Melainkan juga terfokus potensi dana dalam negeri juga yang ada di depan mata.
"Jangan sampai terlalu terfokus dan terlalu memenjakan dana dari luar negeri semata lantas mengesampingkan dana dari dalam negeri. Bisa-bisa dana dalam negeri nilainya sebenarnya bisa dioptimalkan, tapi malah tak optimal atau minim perolehannya. Kan lumayan besar juga potensinya buat tambahan pemasukan pajak," kata Komisaris Utama Gobel Logistic tersebut, Jumat (22/4).
Lebih lanjut, ia mengingatkan agar esensi tax amnesty juga memenuhi aspek keadilan dengan memberikan fasilitas yang sesuai. Alasannya, hingga kini pengusaha lokal, seperti UKM juga banyak yang patuh dan tepat waktu bayar pajak serta jelas-jelas selama ini berkontribusi nyata dalam perekonomian nasional.
Hal ini diungkapkannya sebagai langkah meneruskan dan mendukung pernyataan Ketua Umum BPP HIPMI Bahlil Lahadalia soal tax amnesty yang menekankan pentingnya aspek keadilan dan inklusifitasnya.
"Bagaimana mau optimal, jika masih ada celah temuan ketidakadilan, maka orang-orang tak jadi minat ikut tax amnesty. Ibarat bikin menu itu ya harus menggoda dan menggugah selera kita agar orang tertarik untuk beli atau nyobain," terangnya.