REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, salah satu pemicu tingginya kesenjangan pendapatan di Indonesia karena belum progresifnya penarikan pajak. Penghasilan dari orang-orang kaya di Tanah Air dinilai banyak yang belum tersentuh pajak untuk disalurkan kepada orang-orang miskin.
"Kita punya ketimpangan besar karena pajak kita kurang progresif," kata Bambang kepada wartawan di Nusa Dua, Bali, Jumat (11/12). Akibatnya, tambah dia, masih terjadi penguasaan luar biasa oleh sekelompok kecil masyarakat terhadap kekayaan di Indonesia.
Bambang menyebut bahwa belum progresifnya pajak di Indonesia bukan karena persoalan tarif. Tarif pajak dianggap sudah cukup progresif karena penghasilan yang lebih tingi dikenakan pajak yang lebih tinggi pula.
Menurutnya, ketimpangan terjadi karena wajib pajak besar atau orang-orang kaya banyak yang belum patuh membayar pajak. "Konsep pembangunan dalam APBN adalah kita menarik pajak dari orang yang mampu dan membelanjakan kepada yang tidak mampu," ucap Bambang.
Menarik pajak penghasilan dari orang-orang kaya bukan perkara mudah. Sebab, Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki akses ke perbankan karena adanya UU kerahasiaan bank. Apalagi, uang orang-orang kaya di Indonesia juga banyak yang disembunyikan di luar negeri.
Sebagai solusinya, pemerintah berencana menerapkan kebijakan pengampunan pajak pada tahun depan. Kebijakan ini diharapkan dapat menndorong orang-orang kaya yang selama ini menyembunyikan harta kekayaannya, untuk segera melaporkan dan memohon pengampunan dengan membayar sejumlah tarif tebusan.
Bambang meyakini program ini akan diminati. Para wajib pajak akan memanfaatkan program pengampunan pajak karena pada 2018 nanti akan berlaku program pertukaran otomatis data perbankan secara internasional. Artinya, para wajib pajak tidak ada lagi yang bisa bersembunyi. "Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi pada 2018 nanti," ujar dia.
Ketimpangan pendapatan antara si kaya dan si miskin di Indonesia semakin melebar. Berdasarkan laporan Bank Dunia, rasio gini yang menjadi indikator ketimpangan diprediksi melebar menjadi 0,42 pada tahun ini. Pada 2000, gini rasio berada di level 0,30, sedangkan tahun lalu meningkat menjadi 0,41. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat konsumsi 10 persen warga terkaya di Indonesia sama besarnya dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin.