REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mempertanyakan kebijakan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang menitahkan 13 perusahaan pelat merah di bursa untuk membeli kembali (buyback) sahamnya di pasar modal.
Menurutnya, langkah buyback saham yang bakal menelan dana sampai Rp 10 triliun ibarat seperti menggarami lautan yang tidak memiliki dampak positif bagi perekonomian.
“Perintah Menteri BUMN kepada sejumlah BUMN untuk membeli balik saham-sahamnya patut dipertanyakan. Apakah tindakan itu merupakan inisiatif pribadi Rini Soemarno tanpa konsultasi dengan jajaran menteri ekonomi?” kata Faisal dalam kajiannya, Rabu (26/8).
Faisal menuturkan harga saham di hampir seluruh pasar modal dunia berguguran. Dow Jones Industrial Average disebutnya turun 588,4 poin atau minus 3,57 persen. Indeks harga saham di Eropa juga turun rata-rata sekitar 4 sampai 5,3 persen.
Sementara intervensi yang dilakukan Pemerintah Cina terbukti tak kuasa menahan laju kemerosotan indeks harga saham yang sempat minus 8,5 persen kemarin. “Cina yang punya kemewahan dalam bentuk likuiditas yang melimpah saja tak mampu menjinakkan pasar saham, apalagi Indonesa yang modalnya paspasan,” tegas Faisal.
Dalam situasi karut marut ekonomi seperti sekarang, mantan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tersebut mengatakan seharusnya tidak boleh pejabat publik melakukan inisiatif pribadi dalam menjalankan kebijakannya.
“Semua harus dibicarakan dengan menteri-menteri lainnya, juga dengan Bank Indonesia. Setelah itu satu suara sampaikan pesan ke publik,” kata Faisal.
Disarankannya, kalaupun perusahaan-perusahaan pelat merah memiliki uang berlebih, Faisal menilai akan lebih tepat jika seluruhnya didorong untuk mempercepat investasi. Jangan sampai uang tersebut dihabiskan untuk buyback saham.
“Karena kalau melakukan buyback, dana BUMN yang disimpan di bank akan ditarik. Bank akan mengalami kekeringan dana dan pasti muncul masalah baru,” tegasnya.
Sebelumnya, berbagai langkah yang dilakukan Rini selalu dipertanyakan sejumlah pengamat dan politisi. Misalnya, aksi Rini mendukung Garuda Indonesia menambah armada untuk rute jarak jauh di tengah situasi ekonomi yang sulit serta mendorong BUMN berutang ke luar negeri yang justru membuat rupiah menjadi lemah.
Dalam memilih sejumlah direksi BUMN pun Rini sering blunder seperti jajaran direksi Bulog yang hanya dalma hitungan bulan diganti atau pengangkatan salah satu direksi Indosat, Sarwoto Atmosutarno, yang dalam hitungan bulan sudah diberhentikan.