Kamis 02 Jul 2015 06:30 WIB

Tujuh Pendapat BPK untuk Perbaiki Tata Kelola Keuangan Negara

Rep: Sonia Fitri/ Red: Satya Festiani
 Ketua BPK Harry Azhar Azis (kiri) dan wakilnya Sapto Amal Damandari (kanan) saat pelantikannya di Jakarta, Selasa (28/10).   (Republika/Prayogi)
Ketua BPK Harry Azhar Azis (kiri) dan wakilnya Sapto Amal Damandari (kanan) saat pelantikannya di Jakarta, Selasa (28/10). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meluncurkan Tujuh Pendapat guna memperbaiki tata kelola keuangan negara. Hal tersebut berdasarkan pasal 11huruf a Undang-Undang nomor 15/2006. Tujuh pendapat tersebut ditujukan kepada DPR, DPD, DPRD, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan dan lembaga lainnya.

"Tujuh pendapat ini sudah diserahkan kepada presiden secara formal dan saya yakin sudah ditindaklanjuti oleh para menteri," kata Wakil Ketua BPK Sapto Amal Damandari pada Rabu (1/7).

Tujuh pendapat tersebut diluncurkan mengingat masih banyaknya permasalahan berulang dan belum terselesaikan yang dijumpai di berbagai lembaga negara. Pendapat nantinya akan menjadi acuan bagi lembaga negara tersebut untuk memperbaiki bidang pengelolaan aset, pendapatan dan belanja serta pelayanan masyarakat secara lebih ringkas.

Adapun tujuh pendapat tersebut di antaranya:

1. Pensertifikatan tanah pemerintah pusat/daerah perlu menjadi program nasional yang disertai dengan langkah-langkah implementasi rill antara lain meliputi penunjukan penanggung jawab program, penyelesaian tanah yang bermasalah dan tidak didukung dokumen kepemilikan, serta penyamaan metode pencatatan dan pembenahan database tanah disertai pembiayaan program yang terpadu dengan target waktu yang jelas.

2. Ketentuan yang mengatur kewajiban untuk menginventarisasi tanah/ bangunan yang terindikasi idle, sanksi tidak melaporkan tanah/bangunan idle, dan upaya proaktif mengidentifikasi tanah/ bangunan idle perlu ditetapkan. Selain itu, kebijakan penyusunan RKA-KL dan kebijakan perencanaan kebutuhan BMN K/L perlu diharmonisasi.

3. Kebijakan teknis penggunaan aset properti eks BPPN yang tidak lengkap dokumen pengalihan/kepemilikan untuk penyelenggaraan pemerintahan perlu ditetapkan dan aset properti yang dokumen kepemilikannya dikuasai BI perlu diminta pemerintah kepada BI sebagai pemulihan BLBI.

4. Penetapan kebijakan yang mengatur pembayaran cukai dan PPN hasil tembakau yang dilakukan setelah Barang Kena Cukai (BKC) hasil tembakau selesai diproduksi untuk dipakai/dijual perlu segera dilakukan pemerintah, sehingga nilai cukai dan PPN yang dibayarkan akan sesuai dengan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) yang berlaku saat BKC hasil tembakau selesai diproduksi.

5. Pengalihan PBB-P2 ke pemerintah daerah perlu mendapatkan bantuan teknis pemerintah pusat sampai dengan kesiapan pemerintah daerah mengelola PBB-P2 terkait penggunaan sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP), kapasitas sumber daya manusia dan ketersediaan dokumen pendukung data mutakhir PBB-P2.

6. Peraturan dan kebijakan pelaksanaan belanja akhir tahun perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta lebih praktis, tanpa membebani anggaran tahun berikutnya, dan dapat menjamin penyelesaian sisa pekerjaan.

7. Penyediaan air bersih melalui PDAM perlu menjadi program nasional dengan keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penyelarasan target, penguatan struktur permodalan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan perbaikan pengelolaan bisnis PDAM, sehingga PDAM mampu menyediakan air bersih dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pendapat BPK ini diharapkan dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara yang lebih tertib, taat pada peraturan perundang undangan, ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement