REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Djisman S. Simanjuntak mengatakan, pemerintah sebaiknya fokus untuk melakukan re-investasi bagi perusahaan yang sudah existing di Indonesia. Pasalnya, hal ini bisa menarik investasi lebih besar ketimbang harus menarik investasi baru.
"Regulasi investasi kita sebenarnya sudah bagus, namun implementasinya yang masih kurang," ujar Djisman, Rabu (24/6).
Djisman mengatakan, pemerintah harus gencar melakukan motivasi kepada perusahaaan yang sudah ada di Indonesia agar mau re-investasi. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan insentif berupa kepastian dana keterbukaan iklim investasi. Djisman mencontohkan, Cina merupakan negara yang konsisten menjalankan regulasi untuk menarik investasi.
"Cina sekali bilang open pasti open beneran, sedangkan di Indonesia koordinasi antar birokrasi masih belum matang," kata Djisman.
Menurut Djisman, pertumbuhan ekonomi Kuartal II/2015 tergantung pada pengeluaran belanja pemerintah. Apabila pemerintah gencar untuk belanja maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan lebih baik. Sementara itu, kinerja ekspor impor diramalkan belum akan berubah. Pasalnya, harga minyak dunia masih rendah dan industri pengolahan di dalam negeri masih belum bisa digenjot.
Di tengah perekonomian global yang melambat, arus investasi ke Indonesia diperkirakan juga akan mengalami keterlambatan. Namun, secara keseluruhan, arus investasi global ke Indonesia saat ini sudah lebih baik. Djisman menjelaskan, sebelumnya arus investasi ke Indonesia hanya single digit namun sekarang sudah mencapai sekitar 20 miliar dolar AS.
"Kalau bisa dipertahankan, jangan sampe di bawah 20 miliar dolar AS," kata Djisman.
Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Ekonomi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pratito Soeharyo mengatakan, pelemahan ekonomi global tidak berpengaruh terhadap investasi di Indonesia. Pada Kuartal I/2015 investasi meningkat sekitar 14 persen dari tahun lalu. Pratito optimistis, pada Kuartal II/2015 arus investasi ke Indonesia akan lebih baik seiring berjalannya proyek-proyek pembangunan.
"Regulasi kita sudah lebih baik, terutama dengan adanya PTSP sudah memudahkan proses perizinan investasi," kata Partito.
Menurut Partito, minat investasi asing di dalam negeri rata-rata tertarik di sektor energi, terutama pembangunan listrik. Selain itu, investasi di sektor manufaktur juga masih menarik karena pangsa pasar Indonesia cenderung lebih baik dari negara lain di Asia Tenggara.
Arus masuk foreign direct investment (FDI) ke Asia Timur dan Tenggara pada 2014 mengalami peningkatan sebesar 10 persen. Dalam World Investment. Report 2015 secara sub wilayah, arus masuk FDI ke Asia Timur tumbuh 12 persen, sementara Asia Tenggara meningkat sebesar 5 persen.
Sementara itu, arus masuk FDI ke Indonesia pada 2014 meningkat 20 persen hingga mencapai 23 miliar dolar AS. Sedangkan, Singapura sebagai penerima FDI yang dominan di Asia Tenggara hanya mengalami peningkatan sebesar 4 persen. Vietnam sebagai negara yang dikenal memiliki produksi berbiaya rendah investasi yang masuk mencapai 3 persen atau sekitar 9,2 miliar dolar AS.
Terdapat kenaikan arus FDI di bidang manufaktur ke negara-negara berpenghasilan rendah ke Asia Tenggara karena adanya keunggulan biaya dan efisiensi. Hal ini dipicu oleh proyek-proyek besar, seperti investasi senilai 600 juta dolar dari perusahaan Korea Selatan di Myanmar.