Selasa 12 May 2015 14:04 WIB

OJK: Penerapan Good Governance di Indonesia Belum Menggembirakan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Karyawan berada di kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Senin (13/4).(Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Karyawan berada di kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Senin (13/4).(Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ilya Avianti mengatakan kualitas governance masih menjadi masalah utama dalam dunia bisnis di Indonesia. Data World Economic Forum (WEF) 2013 menunjukkan sebanyak 15,7 persen business leaders menyatakan masalah terbesar adalah korupsi.

"Korupsi menjadi masalah terbesar, selain birokrasi (8,3 persen), dan inkonsistensi kebijakan (6,9 persen)," kata Ilya dalam Pendidikan Jurnalistik Keuangan OJK di Kuta, Selasa (12/5).

Sebelum OJK terbentuk, World Bank Governance Indicator memberikan skor di bawah 50 dari skala 100 untuk kualitas good governance di Indonesia. Ilya berharap dengan pembentukan OJK akan meningkatkan kualitas good governance diindustri keuangan. OJK menjadi role modelnya.

"Sehebat apapun bisnis akan gagal jika landasannya tidak governance," ujar Ilya.

Ada tiga pilar utama OJK di bidang governance tahun ini, yaitu pengendalian gratifikasi, fungsi antifraud OJK, dan revitalisasi whistle blowing system (WBS). Program pengendalian gratifikasi, kata Ilya menjadi langkah OJK bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebab gratifikasi merupakan awal dari korupsi.

Kedua, fungsi antifraud untuk membiasakan insan OJK melaporkan segala bentuk fraud. Ketiga, revitalisasi WBS yang baru diluncurkan 31 Maret 2015 melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder), seperti konsultan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement